Serumpun airmata mekar di penghujung senja. Seorang wanita menangisi kenangannya yang berpamit pergi. Katanya saat mengenang telah usai. Sekarang adalah waktunya mengemas sisa-sisa badai, memasukkannya ke dalam bingkisan kecil, membawanya ke kantor pos terdekat, untuk kemudian dikirimkan ke sebuah alamat.
Alamat itu bukan tempat tinggal. Hanya sebuah arsip pertinggal. Kenangan-kenangan yang telah tamat terkumpul semua di sana. Dalam sebuah ruang tak berlampu. Menjadi masa lalu yang tak diperkenankan lagi bertamu.
Airmata berikutnya tumbuh di mana-mana. Di vas-vas bunga tumbuh airmata haru, tempat Arum Ndalu membiarkan wanginya mengetuk-ngetuk pintu. Mengingatkan kebaikan hujan. Saat dulu mengajaknya berdansa di halaman. Dalam sebuah ritual sederhana. Merayakan purnama.
Di archipelago yang tiada duanya, tumbuh airmata bangga, ketika sebuah negara bernama Indonesia, merantai pulau-pulaunya, dengan pelukan terhangat seorang ibunda. Pada sebuah ritual sempurna. Merayakan berbeda-beda namun tetap satu jua.
Di benua-benua yang seringkali kehilangan matahari, tumbuh airmata sangsi, dapatkan bumi ini bertahan seabad lagi? Jika semua orang terus saja memanasi periuk dengan api raksasa. Melubangi punggung langit dengan luka menganga. Membuat gunung-gunung es mencair bukan pada waktunya. Awal mula sempurna sebuah apokaliptika.
Tempat terbaik untuk airmata telah dipetakan. Jadi untuk apa lagi menangisi hal buruk yang cuma ada di pikiran? Apalagi jika itu hanya sekedar kenangan dari runtuhnya sejarah masa silam?
Bogor, 8 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H