Setiap kali menuliskan puisi tentang hujan, seorang penyair selalu saja menyeka sudut matanya yang bercuka. Entah kenapa, tapi rasanya logika begitu mudah ditenggelamkan oleh romantisme walau tak seberapa.
Bisa jadi. Hujan memang sengaja diciptakan untuk meniadakan rasa nyeri akibat patah hati.
Seperti ketika seorang petani yang sontak wajahnya menderas berseri-seri setelah berhari-hari dihadapkan berita-berita tentang obituari padi. Seorang penari yang kembali menaiki panggung terbuka sembari mengerlingkan mata yang bergerimis sebelum mulai menarikan serimpi.
Juga seorang kekasih yang menampung airmatanya hingga penuh satu cawan lalu menyedekahkannya kepada rembulan. Begitu pula seorang pemulung yang membungkus tumpukan koran sembari mendendangkan senandung lirih yang membanjirkan terimakasih kepada Tuhan.
Kerinduan terbesar bagi seorang pemimpi adalah ketika pada benaknya terlintas pikiran sederhana tentang sebuah orkestra yang dimainkan anak-anak hujan pada sebuah senja. Irama yang diaransemen saat itu juga, jauh lebih mengena ke pusat jantung yang detaknya merupakan perwujudan dari dentingan harpa.
Hujan dan kedatangannya, adalah tambur peperangan sekaligus perayaan. Perang melawan ketandusan yang menggurunkan hati, sekaligus perayaan atas bangkitnya harga diri dari tanah-tanah retak yang kembali bisa ditanami.
Bogor, 7 September 2019Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H