Latar Belakang
Sesuai dengan jargon sustainability tentang keseimbangan yang mendunia; People, Planet, Profit (P3), peran serta masyarakat dalam industri minyak sawit pada masa ini sangat vital dan krusial. Sebuah perusahaan ketika mengawali pembukaan kebun dan apabila tanpa disertai persetujuan dari masyarakat adat/lokal/tempatan maka efeknya akan menyulitkan perusahaan di kemudian harinya.
Selain tuntutan dari skema keberlanjutan semacam NDPE (No Deforestation, No Peat, No Exploitation), tentu proses persetujuan ini adalah sebuah persyaratan mutlak dari standar sertifikasi. Baik nasional maupun internasional. Jangan juga dilupakan bahwa tanpa Persetujuan Di Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa) maka peluang terjadinya perselisihan akan sangat besar. Umumnya yang menyangkut lahan, kesempatan kerja, ganti rugi tanah, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, jutaan petani plasma dan swadaya juga menggantungkan diri terhadap industri ini. Berdasarkan data GAPKI tahun 2018, produksi TBS berada di kisaran 47 juta ton dengan ikut melibatkan 16 juta petani sawit di seluruh Indonesia. Bisa dibayangkan jika terjadi guncangan di industri ini, setidaknya 50 juta jiwa juga akan ikut merasakan tsunaminya.
Kecuali yang mengikuti platform sertifikasi segregasi atau IP (Identity Preserve) dari RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), pabrik kelapa sawit saat ini dipastikan selalu mengajak petani sawit dalam rantai pasok mereka. Selain tentu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku guna mencapai target produksi, juga agar bisa menjaga hubungan baik dengan masyarakat sekitar dengan menyertakan mereka dalam perputaran ekonomi pada rantai pasok Tandan Buah Segar (TBS).
Memang proporsinya akan sangat berbeda-beda karena tergantung dari kapasitas pabrik dan luas kebun sendiri yang dipunyai, namun setidaknya saat ini minimum 5% dari kebutuhan bahan baku TBS diperoleh dari kebun petani. Petani yang dimaksud di sini adalah petani swadaya, karena jika ditambahkan dengan keberadaan petani plasma, maka proporsinya akan jauh lebih besar lagi.
Lantas apakah dengan menyertakan para petani swadaya tersebut ke dalam rantai pasok maka tanggung jawab perusahaan secara sosial dan ekonomi kepada para petani tersebut sudah terselesaikan? Tidak tentu saja.
Menyertakan petani swadaya ke rantai pasok adalah satu hal, sedang memberdayakannya adalah hal lain. Mayoritas kebun petani belum memenuhi kaidah kultur teknis sawit yang baik. Bibit kebanyakan dari sembarang sumber, pemeliharaan tanaman masih asal-asalan, dan manajemen pasar juga masih secara umum tradisional.
Pada dasarnya petani swadaya tersebut memerlukan pendampingan dari perusahaan bagaimana cara mencari bibit yang baik sehingga bisa menjamin produktifitas panen, cara memilih pupuk yang tepat dan melakukan pemupukannya secara benar, cara merawat tanaman dengan membuat piringan serta melakukan tunas pelepah, dan yang paling dibutuhkan saat ini adalah cara memberdayakan kelembagaan agar proses pemasaran lebih efisien serta bisa mendapatkan harga yang lebih kompetitif dan tidak dipermainkan tengkulak.
Sudah menjadi kewajiban perusahaan sebagai mitra petani swadaya untuk berbagi nilai (shared value) dengan melakukan pendampingan beberapa hal tersebut di atas melalui proses continual engagement sebagai bagian dari continual improvement.
Petani swadaya adalah mitra setara bagi perusahaan dalam posisi saling membutuhkan. Petani perlu menjual TBS dan pabrik membutuhkan kontinuitas pasokan bahan baku.
Mengapa?
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!