Di tengah kalutnya pertengkaran. Antara sepotong besar malam dengan sedikit berkas cahaya yang dikutip dari lampu jalanan. Aku serasa berdiri di atas labirin es yang mengambang. Pada sebuah kutub yang sengaja dibekukan tidak oleh kedinginan. Namun atas membatunya keinginan.
Menuliskan sebuah penghabisan ternyata jauh lebih rumit dibanding mencari di mana sesungguhnya letak permulaan. Ibarat sebuah pertemuan yang telah jauh hari direncanakan, namun sebelumnya telah menandatangani traktat perpisahan. Entah ini sebuah peristiwa ironis yang berakhir manis, atau kepingan tragis di sela-sela perjalanan yang begitu romantis.
Mencari-cari itu bukan sepenuhnya karena sebuah kejadian kehilangan. Bisa saja hanya karena lupa di mana tempat penyimpanan. Semestinya adrenalin disuntikkan bertubi-tubi. Ke ceruk pikiran yang terlanjur bersengketa dengan keteguhan hati.
Begitu mulai berkisah tentang air dan api, aku mengerti akan ada mata air yang mengering, dan juga airmata yang jatuh dalam hening. Begitu pula panasnya bara yang berhenti mengakui perapian, karena api yang membakar tak lebih menyala dibanding pelita yang nyaris padam.
Sebenarnya memang tidak mudah. Menyelesaikan cerita tentang kepunahan sejarah. Dunia cepat sekali berduka. Apabila membaca kepedihan yang tidak sempat diberi peluang kecil untuk bahagia.
Barangkali begini. Aku akan berhati-hati ketika menuliskan masa silam yang bermain-main dengan harakiri. Supaya aku bisa kembali menyudahi sebuah peristiwa idu geni. Menjadi halaman-halaman buku yang kelak diletakkan di rak-rak musium. Tempat terbaik bagi riwayat para penyamun. Saat mereka memutuskan hanya akan melanun diri sendiri. Setiap kali ingatan berniat untuk mati suri.
Jakarta, 4 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H