Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Statuta atas Beberapa Perkara

26 Agustus 2019   17:40 Diperbarui: 26 Agustus 2019   17:59 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pixabay.com

Melihat beberapa statuta sederhana bagaimana harus berhadapan dengan kekeringan cuaca, sehingga menyebabkan berkaratnya warna senja, karena begitu lama menunggu hujan yang masih berada di bagian bumi sebelah sana. Kita bisa mencermati beberapa perkara agar bisa patuh dan tidak bertingkah seolah langit mau runtuh;

1)
Statuta diterbitkan secara sempurna oleh kesadaran kehendak agar tidak berpikir vulgar dan melahirkan perilaku barbar yang mengerikan. Terhadap gunung, sungai-sungai, rawa-rawa, dan juga seisi lautan.

2)
Cuaca adalah sebuah panggung yang mementaskan orkestra raksasa dengan angin, awan, dan tekanan sebagai pelakon utama. Diiringi musik yang dimainkan dalam tempo lambat, sedang, dan juga sekencang prahara. Para penontonnya yang berdiri di luar panggung adalah kita semua yang setiap saat bertingkah murung. Seolah-olah takdir adalah mengenai semua perihal yang tidak beruntung.

3)
Senja menunjukkan isyarat yang kuat tentang betapa kacaunya cuaca melalui warnanya yang berkarat. Manakala cuaca sedemikian buruk, maka wajah senja akan nampak sekali teruk. Ketika cuaca membaik, raut muka senja terlihat sama sekali tidak pelik.

4)
Hujan masih dalam perjalanan. Sesuai dengan garis edar yang telah ditetapkan. Sedikit saja retak tanah di kaki kita, meraung-raunglah kita sekeras singa. Memohon hujan mempercepat langkahnya. Tanpa tanggap sedikitpun bahwa selalu ada perputaran. Sama persis dengan jadwal kedatangan rembulan. Setiap bulan.

5)
Bumi yang terus saja tersakiti, semakin hari semakin mengalami dahsyatnya kontraksi. Siap setiap saat melahirkan erupsi, likuifaksi, dan juga menggeser lempeng sekian inci. Akibatnya luar biasa. Kita menjadi sobekan kecil kertas buram yang diombang-ambingkan air selokan. Setelah kejadian, kita langsung berwajah muram. Seolah Tuhan hanya memberikan takdir kelam.

6)
Langit ibarat sebuah rumah yang atapnya tak boleh terbuka. Apabila jendelanya terus saja dikoyak paksa, maka segala rupa akan menjejalkan diri ke dalam setiap ruangan dengan semena-mena. Mulai dari sengatan cahaya mematikan, hingga peringatan alarm menakutkan. Pada akhirnya, kita kembali hanya bisa saling pandang. Tanpa pernah benar-benar mau berpikir ulang.

Jakarta, 26 Agustus 2019  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun