Aku sebenarnya ingin menemani. Memetik cahaya matahari paling pagi, mengaduknya bersama embun paling siang, lalu menuangkannya pada pot-pot bunga, tempat Coelogyne pandurata dan Dendrobium lasianthera saling beradu muka. Berbincang tentang kamu yang mengasuh mereka. Setiap hari penuh dengan aroma seorang ibunda.
Tapi aku sedang sibuk merutuki mimpi yang terlambat datang tadi malam. Padahal aku sangat membutuhkannya saat adrenalinku padam. Pada setiap mimpi biasanya aku titipkan sejumlah percikan api. Agar aku yakin bahwa aku masih sanggup menyalakan sepi.
Ke dalam kegaduhan yang aku rencanakan. Seperti gelombang yang susul menyusul di lautan. Aku akan menaiki puncaknya sembari menghitung berapa lama tiba di pantai yang ramai. Oleh puing-puing sisa badai. Bawaan monsun. Sebuah musim yang memperlakukan angin sebagai pelanun.
Namun aku bisa saja menyempatkan diri. Tentu sesudah aku mereparasi hati. Sebagiannya telah rusak oleh pertengkaran. Antara separatisme masa depan dengan romantisme masa silam.
Tunggu saja di situ. Aku bersicepat mengendarai sisa waktu. Aku akan membawakanmu cahaya matahari paling hangat, mencampurnya dengan senja yang bersemburat, lantas menyiramkannya pada Phalaenopsis violacea dan Renanthera matutina, agar mereka segera berbunga.
Dan kamu bisa berbahagia karenanya.
Jakarta, 26 Agustus 2019
Coelogyne pandurata; Anggrek Hitam
Dendrobium lasianthera; Anggrek Stuberi
Phalaenopsis violacea; Anggrek Kelip
Renanthera matutina; Anggrek Jingga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H