Betapa seksinya! Begitu komentar saya setiap kali membaca sebuah karya puisi yang diaduk dengan kata-kata atau ungkapan dalam bahasa daerah. Ini seperti menambahkan topping caramel di secawan kopi yang rasanya sudah begitu comel.
Apapun bahasa daerah yang ditambahkan, apakah itu Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Maluku, Batak, dan sebagainya, bagi saya sajak atau puisi itu benar-benar menjadi adonan yang unik, klasik, berisik, dan menarik. Sama sekali meninggalkan kesan normatif sebuah tulisan yang dihindari oleh banyak penulis puisi.
Tidak semua penulis berani menambahkan hal-hal yang tersebut di atas karena menganggap sakral sebuah pakem. Tidak salah juga sebenarnya. Hanya saja menambah rasa khas pada sebuah karya sajak atau puisi betul-betul memberikan nyawa tambahan bagi karya tersebut.
Tentu ada yang mesti diperhatikan bila ingin menambahkan kata atau ungkapan dalam bahasa daerah. Terutama dari segi rima. Sebuah bait yang mengalami penambahan menurut saya harus berima sama dengan kalimat atau frasa sebelumnya sehingga seandainya pun ada pembaca yang tidak paham akan bahasa daerah tersebut tetap akan merasakan rasa yang kaya.
Faktor lain yang ikut diharuskan adalah selalu memberikan catatan kaki sebagai informasi apa sesungguhnya arti dari bahasa daerah tadi. Jangan sampai footnote ini ketinggalan sehingga selain mengikuti rima, namun juga tidak ketinggalan makna.
Saya ingin mengurai kenapa karya yang demikian layak disebut unik; Tentu saja. antonim dari normatif adalah revolusioner. Revolusioner umumnya selalu berdekatan dengan unik. Karya puisi yang digado-gado dengan kearifan lokal pasti akan menampakkan kesan yang berbeda. Seperti jump scare yang mendebarkan di film-film horor.
Sebuah contoh barangkali bisa cukup membuat para pembaca mengerti seperti apa debarannya; jika saja halodo ini bisa membuatku bodoh karena selalu sanggup membuatku mengingat senyumanmu yang semanis salak pondoh, maka biarlah aku tertinggal dari peradaban seterusnya demi bisa memusiumkan senyum anjeun. Ngageter teu anjeun maos eta?
Selanjutnya klasik; tidak berarti bahwa sesuatu yang tergolong kontemporer dan keluar dari pakem itu dianggap aneh, mursal atau tidak beradab. Selipan kata atau ungkapan menggunakan bahasa daerah justru akan menampakkan wajah klasik sebuah puisi.
Bayangkan jika kita membaca; Kanjeng Nimas, dari sekian banyak purnama yang aku lupakan, kau adalah salah satu yang tak pernah lekang dari ingatan. Hanya dua kata yang itupun sebutan. Tapi rasanya sangat terbayang bagaimana si penulis berhadapan muka dengan seorang dara di bawah rembulan yang sedang purnama di sebuah joglo di pedesaan jawa yang berisi kursi dan meja berusia renta. Terlihat semakin bernyawa.
Kemudian berisik; saya tidak mengartikan istilah berisik sebagai sesuatu yang negatif. Tapi malah sebaliknya. Berisik di sini adalah sebuah suasana yang membangkitkan adrenalin, keberanian, sekaligus kekuatan. Tambahan kata atau ungkapan dalam bahasa daerah akan membawa makna sebuah puisi semakin menggetarkan hati. Seperti dahsyatnya halilintar sebagai penutup hujan yang mulai reda.
Perhatikan; ini beta sedang asah parang. Beta akan berburu kegelapan dan tak berniat pulang. Mencari jejak ale yang hilang di bulang trang. Berisik tapi benar-benar asik!
Terakhir menarik; apabila sesuatu telah diberi label unik, klasik, berisik, tentu saja otomatis akan menarik. Membaca sebuah karya puisi yang seperti ini akan membuat kita membelalakkan mata, menikmati debaran dada, sekaligus menjaga agar tidak jatuh airmata karena haru-birunya sungguh sangat terasa.
Jakarta, 21 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H