Saat matahari sedang pada titik didih tertinggi, rumput dan ilalang tertunduk layu mendekati mati, retakan tanah menjalar seperti suluran akar, dan alam pikiran manusia tersasar-sasar di semak belukar, api lantas mendatangi. Berapi-api.
Ketika sayap-sayap burung murai nampak begitu letih menggiring angin yang mengering, di kaki langit yang kesulitan menahan awan untuk tak jatuh terpelanting, dalam pecahan kecil berkeping-keping, maka percikan amarah tak bisa lagi ditunda. Menyala-nyala.
Manakala terbitnya fajar langsung disambut gulungan asap yang bergumpal-gumpal, menggambarkan mural-mural yang diharapkan fotogenik namun ternyata kemudian gagal, sedangkan orang-orang malah sibuk berdebat bagaimana cara bertabik pada hujan, separuh dari hutan telah memperlihatkan tajuk-tajuk yang berhangusan.
Cuaca bukan kambing hitam yang bisa disalahkan, karena telah mewarnai malam. Cuaca juga bukan hamba sahaya yang mudah diperintah, untuk tidak menyajikan kekalutan. Cuaca sesungguhnya sangat baik-baik saja. Jika tidak lalu diseret-seret manusia sebagai prasmanan cuma-cuma. Untuk brutalnya sesajian. Atas nama fase buruk peradaban.
Bumi terbakar! Hutan terbakar! Tanah terbakar!
Maka bagus saja jika kalian segera tawar menawar dengan nalar pintar kalian yang begitu nanar!
Api! api! Tak mau mati!
Maka lebih baik kalian segera menyusun rencana terbaik bunuh diri!
Jangan sekali-kali
kalian menantang api
Jika kalian tak benar-benar siap hidup terkrematori
Jakarta, 12 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H