Kali ini, kumpulan puisi ke-9 yang terbit ini berisi mayoritas prosa. Saya ingin mendapati para pembaca menikmati dengan caranya sendiri-sendiri. Karena mengartikan sebuah prosa sesungguhnya lebih mudah dibandingkan puisi yang jauh lebih pendek dan umumnya meliuk-liukkan misteri.
Dalam buku ini saya membiarkan kepala saya menjadi sungai. Mengalir ke tempat yang lebih rendah dengan cara patuh terhadap gaya gravitasi. Dengan kata lain saya mempersilahkan isi kepala untuk merdeka sepenuhnya. Saya tidak ingin mengkoloni sebuah inspirasi karena bagi saya itu sama saja dengan penjajahan yang tak bisa ditoleransi.
Dalam buku ini juga saya tidak mau terjebak pada patron atau teori. Saya menyerahkan seutuhnya pada kebebasan dan bukan pada logika. Saya menulis apa yang terlantar dalam pikiran dan bukan pada nalar. Mungkin terlihat makar, tapi saya pikir lebih begitu daripada mesti menyerah pada sesuatu yang biasa saja. Dan saya, tidak ingin hidup dengan cara biasa.
Biarlah. Toh sebetulnya dalam buku ini saya hanya ingin berbagi kegembiraan meski yang saya tuliskan kadang adalah kesusahan. Saya ingin orang-orang juga ikut bersedih walau yang saya tulis adalah puisi tentang kebahagiaan.
Sebuah paradoks memang. Tapi bukankah itu memang yang kita perlukan? Sebuah keseimbangan?
Jakarta, 7 Agustus 2019
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H