Tidak ada yang lebih mengenalimu daripada aku, ujarmu sembari berlalu. Meninggalkanku bersama tumpukan buku lusuh yang dilumuri sekian kaki debu.
Buku-buku itulah yang menemani perjalanan panjang mencari wajah sesungguhnya dari pencarian. Saat malam lintang pukang melarikan diri dari kegelapan. Atau ketika pagi tiba namun yang dibawanya adalah kabar duka dari mimpi yang tertunda.
Terus terang ini bukan tentang bagaimana memperlakukan rindu, tapi lebih pada seperti apa mesti membiarkan salju mengurai satu demi satu keinginan yang membatu. Untuk tetap bertemu muka dengan cinta. Walau waktu selalu kukuh dalam membuat rencana demi rencana.
Seperti rembulan yang padam. Aku adalah cahayanya yang terlempar ke sisi langit yang tak kelihatan. Aku lebih dari sekedar samar. Namun telah menghilang sebagai sisa-sisa memoar.
Seperti matahari yang terlalu cepat menyudahi hari. Aku adalah senja yang terkapar di pelataran rumah tak berpenghuni. Aku berteman baik dengan sunyi. Bahkan sanggup mendengar suara-suara konsonan tanpa bunyi.
Dan kau tak akan mengenaliku lagi.
Pekanbaru, 1 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H