Membaca berulang-ulang, apa yang pernah dituliskan sejarah sebagai nestapa yang jalang. Di sebuah kelas pengajaran bagaimana cara termudah menghapus kenangan, aku adalah lulusan terbaik karena selalu berhasil menjadikan kenangan hanya sebagai lampu kecil di bilik. Terayun kesana kemari ditiup angin. Lalu padam seketika kapanpun aku ingin.
Di sini, di negeri para puteri melayu sering membaca gurindam dua belas, malam ini bulan sedang tertutup kabut pias. Semacam asap dupa yang berasal dari ribuan pinta. Permohonan agar tanah-tanah ini tak lagi terbakar. Oleh angkara maupun upaya makar. Terhadap ibu yang melahirkan sungai-sungai, hutan-hutan dan belukar padat tempat peraduan.
Kenangan saling berlomba mengingatkan, akan sungai-sungai yang menyempit dan hanya sanggup menghilirkan perkara rumit, juga atas hutan-hutan yang kehilangan keperawanan lantas menjadi janda kesepian tanpa keturunan, juga pada sisa-sisa peraduan para raja dan hulubalang belantara yang saat ini cuma bisa beradu kisah dengan lara.
Semua adalah kenangan yang dituliskan di atas almanak yang berlubang-lubang. Saat orang-orang duduk manis di atas tulang belulang; Ramin, Mersawa dan Sialang.
Pekanbaru, 1 Agustus 2019