Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Sebuah Serial tentang Sepi, Mimpi dan Harakiri

30 Juli 2019   07:54 Diperbarui: 30 Juli 2019   08:01 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apabila setiap hari saya harus menuliskan puisi, maka yang terbersit dalam benak saya adalah cara-cara memaknai sepi, mengartikan mimpi, dan rencana harakiri berulangkali;

1)
Sepi adalah pemimpin tertinggi dari sebuah sekte patah hati. Pada setiap sepi yang disimpan baik-baik dalam almari, rencana-rencana yang ada hanyalah keinginan yang nyaris mati.

Orang-orang yang sepi adalah orang-orang yang sangat bahagia ketika bisa berjumpa dengan belati. Mengasahnya, untuk kemudian mulai berpikir cara terhebat mengiris urat nadi.

Tapi, di dalam sepi, juga ada kerinduan yang dimanifestasi. Terhadap banyak hal yang sebelumnya dianggap gagal, padahal hanya sebuah keberhasilan yang kesingsal.

2)
Mimpi adalah berbagai jenis bunga yang tidak tumbuh di lansekap yang sama.

Kadangkala mimpi adalah duri kaktus yang tumbuh di padang gurun tempat kita melamun menjadi seorang penyamun.

Terkadang pula, mimpi adalah bunga melati yang beranak-pinak di halaman depan namun lupa disiram. Lalu perlahan-lahan layu, diburu rindu yang kehabisan waktu.

Mimpi terbaik adalah ketika tidur sama sekali tak terusik. Menggali tanah-tanah retak, menyiraminya dengan sisa-sisa hujan, lantas menumbuhkan bunga-bunga yang tak punya hikayat pelik.

3)
Terbangun dari sebuah mimpi yang pada akhirnya membuat segalanya terasa sepi, membuat banyak orang mulai menerbitkan narasi-narasi tentang harakiri.

Mungkin sebuah ledakan matahari di pagi hari bisa membakar tubuh yang menua tanpa rencana apa-apa, hanya sanggup menata ulang bidak-bidak catur yang telah ada, tanpa memainkannya.

Mungkin sebuah gelombang maha dahsyat yang dikirimkan lautan pada siang yang gamang mampu membuat semua rasa pilu tenggelam, tak lagi bisa ditemukan, bahkan oleh tim penyelamat yang terdiri dari keinginan akan pulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun