Sunyi merambati dinding malam
di sebuah kota yang mulutnya dibebat gumam
lirih, nyaris tak terdengar
karena hanya menyerupai bisikan angin di telinga yang pengar
Para pengembara tenggelam di pembaringannya masing-masing
memindahkan bising
ke dalam ribuan narasi mimpi
sebagian besarnya tetap saja berupa ilustrasi sepi
Jalan arteri nyaris tak pernah tertidur
banyak orang yang melewatkan kemewahan dengkur
untuk mengais serpihan awan yang berguguran
dijatuhkan sengaja oleh langit demi sebuah keadilan
Stasiun kereta api sedikit berbenah
saatnya pagi tiba, tempat ini akan diluberi banyak amanah
dari kaki-kaki yang menaiki tangga kereta
dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka
Terminal bus meredam penat sejenak
sebelum kembali riuh kedatangan kehendak
begitu fajar datang menyeruak
saat berkas cahaya matahari mulai beranak-pinak
Sunyi memindahkan dirinya ke pinggiran
tempat orang-orang marginal meringkuk kedinginan
menunggu udara lembab dihanyutkan kehangatan
dari pancaran mata yang kembali meletakkan harapan demi harapan
Di kota yang mulutnya tak lagi dibebat gumam
namun digaduhi dengan berbagai macam teriakan
"jika kau datang hanya untuk berkabung pada kubangan keluhan"
"pilihanmu hanya pulang atau menghuni pemakaman"
Jakarta, 3 Juli 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H