Pada sebuah lamunan tentangmu yang belum selesai digambar, saya kehabisan tinta berwarna hitam. Saya lalu memilih menyulam matamu menggunakan malam, memulas bibirmu memakai lelehan lilin yang telah padam, dan meretas isi hatimu dengan ucapan tabik dan salam.
Saya yakin isi hatimu mempunyai banyak ruang-ruang temaram yang kau sediakan untuk menyimpan rahasia muram. Rahasia yang kebanyakan terselip bersama misteri dinihari. Saya hanya bisa berharap misteri itu sedikit demi sedikit akan bisa terkupas dengan hati-hati. Saya pikir barangkali ini semua akan seperti filosofi mengupas buah kecapi. Keras namun selalu berisi.
Lamunan yang telah selesai saya gambar akan saya pigura sebaik-baiknya. Di dinding kamar, ruang tamu, dan serambi yang diterangi banyak lampu. Kau tahu, itu semua agar saya bisa memperhatikannya satu persatu. Sebelum berangkat kerja atau ketika mulai memejamkan mata. Sebagai bekal dan penanda. Ada riuh rendah perjalanan di sana.
Apabila kelak gambar itu mulai memudar, entah karena cuaca atau sebab-sebab lain yang samar, saya akan menebalkan garisnya menggunakan keseriusan para petani ketika menyemai bibit padi, menyambungkan titik-titik yang memucat memakai kemauan para nelayan saat menghela cadiknya di lautan, dan mencatat di tanggal berapa saya menurunkan piguranya lalu memasangnya kembali di dinding kamar, ruang tamu dan serambi yang telah penuh anggrek bulan, di helaian kenangan tempat saya selalu menyimpan ingatan.
Jakarta, 2 Juli 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H