Mengumpamakan diriku sebagai malam yang menjadi saksi atas terlelapnya sebuah kota dengan dengkur tak menyenangkan sebagai hiburan bagi sebagian kecil penghuninya yang sedang berdansa dengan lampu-lampu jalanan, membuatku iba sekaligus percaya bahwa bertahan hidup di segala sisi waktu itu sama sekali tidak sama dengan melempar dadu di meja kasino yang berdebu.
Kota adalah sejenis samudera yang tak pernah sepi dari hantaman gelombang liar. Datang dari segala penjuru. Dengan badai yang mempunyai rasio satu banding satu dengan ketenangan yang semu.
Segala sudutnya menyimpan tungku-tungku yang siap membakar adrenalin untuk membangkitkan rasa ingin sekaligus juga menyuntikkan insulin karena kota memang terlalu banyak mengandung harapan manis yang pada kenyataannya makin lama makin terkikis.
Pada halaman belakangnya tumbuh banyak ilalang di antara tumpukan kardus bekas dan lutut-lutut kebas. Lengan-lengannya yang tajam sanggup melukai siapa saja yang terus saja bermimpi tanpa batas-batas yang jelas. Tak banyak bunga tumbuh di sana. Kecuali satu dua sebagai riasan yang tujuannya hanya untuk memikat kedatangan rasa penasaran. Dari orang-orang yang melambungkan harapan lebih tinggi dari rembulan.
Halaman depan sebuah kota jarang sekali memiliki cacat muka. Nampak sempurna dengan baliho besar yang menyiarkan wajah rupawan dan tubuh-tubuh tak berpenyakitan. Juga pengumuman-pengumuman mengenai surga. Termasuk bagaimana menemukan tangga, cara-cara untuk menaikinya, lalu berenang di sungai-sungai yang mengalir di bawahnya.
Itu semua beranda kota. Tanpa disertai percakapan hangat di kursi-kursinya yang menua.
Jakarta, 24 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H