Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Ensiklopedia Dunia dalam Kepala

22 Juni 2019   11:12 Diperbarui: 22 Juni 2019   11:37 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keramaian di sudut kepala tak juga mereda. Seperti pasar yang baru dibuka dan teriakan tawar menawar menguar kuat memenuhi udara.
----
Dunia para penyair memperlihatkan mereka menodongkan ujung pistol ke kepala masing-masing agar dunia nyata cepat berakhir.

Semesta para pemikir menunjukkan mural tak senonoh yang digambar pada otak-otak pintar yang digrafir dengan menggunakan ujaran-ujaran pandir.

Bumi para pujangga menampakkan siluet jingga dari banyaknya kaldera yang ditumpahi bisa dari kata-kata yang pada tempatnya tapi tidak pada makna yang semestinya.

Rasi para penyendiri meredup di lingkaran galaksi pikiran mereka yang menyimpan caci-maki untuk diri sendiri lalu keesokan harinya ditemukan mati bunuh diri.

Kota-kota yang bersedia melahap apa saja termasuk pahala maupun dosa menyalakan lampu di siang hari sebagai pertanda siapa saja bisa disakiti tanpa merasa perlu sakit hati.

Desa-desa yang dari matanya mengalirkan airmata dari mata air yang makin lama makin mengecil mencoba sekuat tenaga agar para penghuninya tidak pergi dengan menjanjikan kobaran cinta tak mati-mati.
-----
Keramaian itu berubah menjadi kesepian saat para penyair dan para pemikir memutuskan untuk patah hati terhadap realita yang terus-terusan terluka, sedangkan para pujangga dan penyendiri membuat kesimpulan bahwa kata cinta itu terlahir dari neraka setelah terlempar dari surga.

Sementara kota dan desa saling menukar keranda bagi padamnya keyakinan orang-orang urban akan matinya kata bahagia, tak lagi dengan hormat memakamkannya, namun tetap mengafaninya dengan kain lusuh dari sisa-sisa asa yang terlanjur menua.

Sampit, 22 Juni 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun