Sekiranya langit malam ini memutuskan untuk jatuh cinta. Menyiramkan sajak-sajak tua dalam setiap ritual hujan yang dijatuhkannya, biarkan aku menjadi saksi satu-satunya. Tenggelam dalam syair-syair berbahasa purba yang tak lagi dikenali, namun mampu meresap jauh di kedalaman hati.
Tanpa berbicara aku akan mengiyakan seandainya kaupun berbuat serupa. Menyamarkan kalimat beromantika dari setiap kerling yang kau lempar ke angkasa. Bergabung bersama remah-remah cahaya. Dari patahan rembulan yang berahasia di balik mega.
Meskipun musim kering mulai menjatuhkan puing-puing. Langit tak sekalipun hendak bergeming. Cintanya adalah cinta tak mengenal musim. Selalu berdaun dan berbunga rimbun. Hanya luruh saat kelopaknya tertimbun halimun.
----
Sekiranya langit memutuskan untuk patah hati. Mengirimkan pesan-pesan sedih pada setiap upacara hujan yang merintih-rintih perih, aku adalah saksi satu-satunya. Berkabung dalam kubangan syair-syair tajam yang melukai, dengan sayatan-sayatan tipis yang mencederai memori.
Kali ini aku harus berbicara seumpama kau berbuat hal yang sama. Mengobarkan kalimat yang menyala dari bahasamu saat mengaburkan cinta.
Kita bukan langit yang mampu menahan rasa sakit, sekalipun bertubi-tubi dipaksa menelan kisah pahit.
Aku di sini tidak untuk patah hati. Aku adalah lelaki yang hanya mengenal arti sunyi ketika langitku memutuskan untuk berhenti mencintai.
Bogor, 25 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H