Saya percaya pada beberapa hal yang pernah kamu sampaikan ketika kita sedang bercengkerama di sawah pada musim panen yang gagal.
Kamu bilang terlalu banyak cuaca yang tak bisa dipercaya. Di balik kemarau yang terlihat sederhana, ternyata menyimpan petikan bara di belakang punggungnya yang menyala. Di sela-sela hujan yang nampak sempurna, kenyataannya meledakkan berahi malapetaka dari air bah yang menggelora.
Kamu juga mengatakan tak ada salahnya untuk menyembunyikan harapan di balik celana. Karena syahwat terbesar cita-cita ada di sana. Pantang surut meski dihalangi kabut. Tak hendak menyerah walau seringkali dikacaukan arah.
Saya begitu mempercayai semuanya sehingga memutuskan tidak banyak bertanya. Lagipula kamu tidak memberikan kesempatan sedikitpun untukku menyoal apa-apa. Kamu memang perempuan yang pandai menyimpan rahasia. Sementara saya tak pandai mengira-ngira.
Sudahlah tak mengapa. Toh pembicaraan itu sengaja kita lakukan dengan sukarela meskipun pandangan kita berbeda. Kamu yang bersikukuh dengan sebab-sebab kegagalan. Sedangkan saya lebih banyak menggagalkan sebab-sebab keruntuhan.
Saya masih ingat saat itu kita tergesa-gesa pulang karena kehabisan bahan perbincangan. Kamu berdiam semacam arca dan saya mencari cara-cara agar kita tak dikutuk menjadi senja. Tenggelam begitu saja tanpa upacara.
Sesampainya di pekarangan rumah yang rimbun oleh anggrek bulan, kamu mempersilahkan saya singgah agar kita bisa menarik kesimpulan. Saya bilang, saya sepakat jika kamu juga sependapat.
Kesimpulan itu ibarat tali galangan. Dapat menambatkan sebesar-besarnya bahtera meskipun diguncang badai kencang.
----
Hah!
Kita telah terlalu banyak bicara sampai-sampai melewatkan senja yang berlalu tanpa sedikitpun upacara.
Bogor, 20 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H