Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Pada Drama dan Orkestra yang Kehilangan Skenario dan Musiknya

18 Mei 2019   20:37 Diperbarui: 18 Mei 2019   20:41 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada drama yang kehilangan skenarionya, saya memerankan diri sebagai lelaki yang berjalan menghampirimu dengan mata terbelalak tak percaya. Saya mengira kamu sedang bercanda dengan hujan. Saya melihatmu menandai setiap genangan. Setelah itu kamu menyumpahinya habis-habisan. Tak lama kemudian kamu menangisinya dengan begitu sesenggukan.

Sungguh mengherankan!

Saya mengira kamu juga sedang bermain drama. Menjadi tokoh yang menista kenangan sebagai jajanan kadaluarsa. Sekaligus sebagai piala yang kamu pajang di beranda.
----
Pada orkestra yang dimainkan para penunggang kuda, pemulung barang-barang tua, dan pecinta yang tak berguna, saya melihat seekor kuda dipacu tanpa pelana, orang di atasnya harus menerima betapa sakitnya mengembara tanpa sedikitpun rencana.

Saya juga menyaksikan bekas-bekas masa lalu dipulung tanpa ragu. Dimasukkan dalam gerobak oleh orang-orang yang sekujur hatinya dicacah oleh rasa ngilu. Mungkin kamu salah satunya. Atau barangkali kamu lah satu-satunya.

Para pecinta tak berguna, yang berbicara atas nama cinta tak ada habisnya, tapi sebentar saja lupa kepada siapa dia berbicara, lantas mencari lagi lawan bicara, untuk diajak berbincang tentang peristiwa yang tak pernah nyata, namun mereka menyebutnya sebagai cinta.
----
Akhirnya, skenario dan musik yang hilang dianggap sebagai pementasan nasib yang malang. Pada sebuah pertunjukan waralaba drama dan orkestra. Di mana para pemeran dan sutradaranya hanya bisa mengucurkan airmata.

Panggungnya terbengkalai. Jalan ceritanya kusut masai. Dan penontonnya terus menggerutu tak kunjung usai.

Bogor, 18 Mei 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun