Aku menuliskan ini. Bersamaan dengan tergelincirnya matahari. Tepat ketika senja mewadahi butiran-butiran hujan di kelopak matanya yang sembab. Menangisi orang-orang yang terkepung trotoar berlubang, jalan tergenang dan halte tak beratap.
Sementara azan memanggil mereka berulang-ulang agar segera pulang. Di meja makan telah tersedia doa-doa beraneka rupa untuk diterbangkan. Menuju langit yang pias setelah habis-habisan dikuras mendung yang kehilangan rasa kebas.
Beranda ini sepi. Seperti halaman buku-buku yang dionggoki sarang laba-laba di sudut almari. Aku merapal mantra-mantra yang berasal dari pucuk cemara. Untuk rumput dan bunga kamboja yang lupa di mana letak pekuburan berada.
Tapi udara sama sekali tidak sepi. Partikel-partikel maya yang diaduk oleh suara-suara orang mengalunkan ayat dan surat dari buku tua yang diwariskan untuk menjaga dunia, menyiangi gulma dan perdu yang menyemak di gendang telinga.
Aku ingin membacakan ini. Bersamaan dengan gugurnya sunyi. Di bulan yang ramai oleh para penderma. Menyuguhkan sepotong kurma kepada orang-orang yang singgah dalam perjalanannya. Setelah terjebak riuh-rendah hujan beberapa lama. Di penghujung senja ketika kata-kata kembali menemukan kalimatnya.
Bogor, 10 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H