Memandangi retakan pada sebuah vas di ruang tamu yang bercat kelabu. Menyalakan alarm di kepalaku. Retakan itu terjadi karena beberapa ihwal gagal yang tak mampu lagi ditambal. Semenjak banyak perihal terjun bebas dari dinding-dinding vertikal tempatku sengaja meletakkan banyak rencana untuk menemui ajal.
Menemui bulan yang kelaparan mengetuk pintu. Tidak minta untuk dijamu. Tapi hanya berharap dibacakan buku-buku lama yang bercerita tentang cinta. Antara manusia dengan manusia, manusia dengan alamnya, dan manusia dengan Penciptanya.
Tamu berikutnya adalah suara-suara lantang yang sama sekali tidak merusak gendang telinga. Suara-suara yang mengalir mengendarai udara. Menyusup di susunan rumit urat syaraf kepala. Menjelma dalam kidung-kidung yang tak sanggup dituliskan manusia. Tentang bagaimana memandu laku sehingga terhindar dari polah durjana.
Tamu terakhir tiba. Membangunkan agar segera mencuci muka. Ada perjamuan dinihari yang menanti di meja yang dingin, namun di atasnya adalah hidangan yang hangat. Untuk disantap secara hikmat, karena esok kitalah tamu yang datang mendekat. Pada hari kedua perayaan para malaikat.
Aku, merekatkan lagi vas retak di ruang tamu yang kelabu. Mematikan alarm di kepalaku lalu menuliskan sebuah kesaksian bisu;
Retakan itu telah ditambal sebaik-baiknya menggunakan getah perca. Dari pohon-pohon keyakinan yang ditumbuhi banyak rencana istimewa. Juga tentang kegagalan yang tak lebih dari simpul-simpul tak sempurna dari ikatan tali yang tak pernah terputus bentangannya. Â
Jakarta, 6 Mei 2019