Para pemburu bulan, membiarkan malam tergelincir di hadapannya. Menunggu sampai langit benar-benar padam, lalu memulai perburuannya.
Di bahunya tersandang gendewa yang telah dilumuri doa-doa, berikut mata panah yang akan menuntunnya memburu aksara demi aksara. Matanya setenang telaga di hari ketika setangkai padma dilahirkan tanpa diikuti sedikitpun riak air dari daunnya yang menggelinjangkan takdir.
Mata para pemburu bulan memicing tajam. Mengikuti bentuk sosok huruf dalam setiap lengkung, tanda dan maknanya yang begitu dalam. Angin berdiam sekaku pemakaman. Mendengarkan.
Perburuan bulan telah dimulai dengan syahdu. Para pemburunya melesatkan tajam sebutan satu persatu. Mendesir paripurna menuju sasarannya yang sempurna.
Kata demi kata Asmaul Husna.
-----
Para pengejar matahari, mengumpulkan percikan cahaya di dalam cawan-cawan minuman untuk berbuka. Agar saat petang tiba, bisa disajikan di hadapan pengembara yang menghapus catatan keringatnya setelah seharian menahan lapar, dahaga dan durhaka.
Para pengejar matahari, menuntun senja duduk di sajadah yang dihampar memanjang. Menunggu buruannya perlahan-lahan tenggelam secara epik menuju pulang. Lalu menundukkan hatinya yang terlalu lama duafa. Meminta suaka dari Pemilik negeri yang tak terbatas wilayahnya.
Para pengejar matahari, memunguti remah-remah hati yang selama ini terlalu banyak berteka-teki. Membungkusnya dalam doa-doa paling sunyi. Agar sampai pada Pemilik matahari tanpa pamrih apapun yang menggaduhi.
Berupa rima demi rima yang dilantunkan terhadap bait-bait suci pada buku tebal yang diwariskan oleh junjungan Nabi. Yang selama ini terkunci rapat dalam lemari.
Jakarta, 6 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H