Tugasmu sekarang adalah membelah-belah airmata agar semua orang yang sedang berduka kebagian. Bisa saja kau sajikan dalam sebuah perjamuan merayakan kemenangan hari tua yang menyenangkan, atau masa muda yang tenggelam dalam huru-hara tapi kau sangat menyukainya lalu membingkainya baik-baik dalam pigura kenangan.
Aku hanya akan mengawasimu dari kejauhan. Memastikan bahwa airmata itu tidak tumpah sebelum sempat dinikmati kedukaan. Sudah pada kodratnya airmata itu untuk luka yang berduka. Bukan sekedar untuk duka yang pada akhirnya menyebabkan luka. Juga bukan untuk berfoya-foya sebab kelenjar retina menggembung karena menimbunnya sekian lama.
Bisa saja kau meraciknya supaya terasa lebih manis di lidah ketika dicicipi oleh orang-orang yang tersengal-sengal meratapi sepi. Ada baiknya juga kau tambahkan sedikit rasa merica sehingga durasi berairmata menjadi lebih lama. Aku akan mencatatnya sebagai fragmen drama. Bukan segmen sederhana dari hidup yang terlalu biasa.
Dalam penyajian airmata, kau tidak boleh sembarangan, apalagi sampai berantakan. Airmata itu produk ritual yang tak pernah gagal. Untuk meyakinkan diri bahwa kita memang ditakdirkan untuk menjadi tumbal. Bagi rencana-rencana yang berulangkali tak bisa sempurna diinstal. Serupa dengan kode-kode mematikan dari pikiran kita yang seringkali dipaksa untuk temperamental.
Pada proses membelah airmata selagi hatimu disayat habis-habisan oleh sembilu. Aku akan ada di sampingmu dan dekat sekali denganmu. Mengajarimu jurus-jurus ratapan paling tinggi. Supaya kau melupakan semua keinginan bunuh diri. Lalu terus menjalani hidupmu dengan baik-baik saja. Meski aku tahu semuanya ternyata memang tidak baik-baik saja.
Paling tidak, kau tahu harus berbuat apa pada airmata. Tidak menyia-nyiakannya begitu saja.
Jakarta, 1 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H