Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Di Antara Rencana dan Jejak-jejak Purnama

19 April 2019   19:44 Diperbarui: 19 April 2019   20:25 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah cukup jauh perjalanan ini. Lewati duka lewati tawa. Lewati s'gala persoalan

Nona, persoalan kita sesungguhnya sederhana. Bagaimana kita sama-sama sepakat untuk berencana. Memulas wajah purnama. Memberinya perona pipi setemaram senja. Menyapu bibir semerah saga. Memoles maskara setegas mendung. Melepaskan segala bentuk senyuman murung.

Tapi kita akhirnya tidak sepakat untuk apa-apa. Kau tetap bersetia pada rencana, sementara aku hanya bisa untuk berencana setia.

Pada setiap rencana, kau selalu menyembunyikan matamu yang berkaca-kaca. Sedangkan aku, memilih tenggelam di telaga daripada harus berkubang dalam rencana. Bagiku, rencana adalah seburuk-buruknya berahi saat musim kawin tiba.

Kucoba berkaca pada jejak yang ada. Ternyata aku sudah tertinggal. Bahkan jauh tertinggal

Saat kau sudah berada di ujung lembah. Aku masih tertatih di sisi entah. Kau mengayuh keyakinan akan datangnya hujan. Sedangkan aku masih merajuk pada awan.

Pada cermin kau berkaca. Mencari-cari di mana letak bayangan yang sempurna. Pada cermin aku meretakkannya. Lalu memunguti serpihannya untuk menorehkan luka.

Bodohnya diriku tak percaya padamu. Lalu sempat aku berpikir. Untuk tinggalkan kamu

Pada suatu ketika aku ingin meninggalkanmu. Pergi ke tempat yang kukira akan menjamuku. Tapi ternyata perayaan itu tak pernah ada. Hanya keramaian saat kamboja menggugurkan bunga-bunganya. Di ritual pemakaman cinta.

Nona, maafkan aku. Oh nona, peluklah aku. Nona, begitu perkasanya dirimu. Yakiniku...
Nona, marahlah padaku. Nona, nonaku...
Aku tak peduli. Apa kata mereka. Hari ini engkau di sini. Esok tetap di sini.

Nona, maafku ada di jendela pagi, saat kau terjaga esok hari. Maafku ada di gerbang mimpi, yang kau masuki pintunya saat malam hari.

Bagiku, kau adalah ramalan rasi gemini. Sebuah gugusan hati di semesta cinta yang dijaganya hingga mati.

Bogor, 19 April 2019

Catatan; Puisi ini terinspirasi dari Nona, salah satu lagu terbaik sang Maestro Iwan Fals

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun