Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Menerjemahkan Mata Dewa bagi Sepotong Kisah Cinta

16 April 2019   23:40 Diperbarui: 16 April 2019   23:41 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di atas pasir, senja pantai Kuta
saat kau rebah di bahu kiriku
helai rambutmu halangi khusukku
nikmati ramah, mentari yang pulang

Lagu yang syahdu itu mengingatkan aku tentang sesuatu yang tak pernah berlaku. Di atas pasir kita hanya sempat menjadi sepasang bukan kekasih yang pandir. Mengeja kata tanpa kosakata dengan intonasi tanpa suara. Hanya membiarkan angin yang tak pandai berbicara sibuk menyapa keterpakuan kita.

Kau lupa tidak merebahkan diri ke bahu yang telah aku persiapkan sejak pagi. Mungkin kau merasa malu sedangkan aku lebih banyak termangu. Kita sama-sama memandangi lautan tapi tak satupun dari kita yang bergelombang.

Helai rambutmu hanya sempat menghalangi pandanganku kepada matahari. Aku sama sekali tidak khusuk. Aku bahkan terlihat sangat kikuk. Berdua denganmu adalah mimpi yang terlalu cepat terjadi. Seperti padi yang dituai padahal bulir-bulirnya belum jadi.

Kita memang mencoba menikmati keramahan mentari. Tapi semua sebetulnya hanya basa-basi sebab sesungguhnya kita disibukkan menata debaran hati. Kau dengan pandanganmu yang mengikuti lari kecomang dan aku melarikan diri lewat tatapan ke arah lambung kapal. Aku rasa, itu sebuah pertemuan yang cukup gagal.

*****
Aku berdiri tinggalkan dirimu
Waktu sinarnya jatuh di jiwaku
Gemuruh ombak sadarkan sombongku
Ajaklah aku wahai sang perkasa

Aku tidak berdiri lalu meninggalkan. Tapi kita berdua sama-sama bergerak ke arah yang berlawanan. Kau menyongsong fajar yang kepagian dan aku tenggelam dalam petang yang kemalaman.

Gemuruh ombak hanya terdengar sebagai kecilnya peringatan. Bahwa kita sedang melawan takdir dan keinginan yang saling berlaluan. Saat itu, kita merasa begitu perkasa pada masing-masing pendirian.

*****
Lidah gelombang jilati batinku
Belaian karang sampai ke jantungku
Hingga matahari ajak aku pergi
Kasihku tulus setulus indahmu
 

Lidah gelombang belum sampai ke pekarangan batin. Karena kita benar-benar mengacaukan diri dengan cara membatin. Apakah ini cinta. Atau sekedar episode kecil dari skenario besar romansa.

Kita memang membelai karang dengan cara yang tak sama. Kau mengagumi kekokohannya sedangkan aku mengharap keruntuhannya.

Aku lantas pergi menyusuri jejak matahari. Sedangkan kau pergi menuju ke arah mana sepi sedang bernyanyi. Kita kehilangan utuhnya ingatan. Baru teringat saat sama-sama kehilangan.

*****
Meski kemudian kita akhirnya menyadari bahwa ketulusan kasih itu tak pernah lekang hanya karena kedatangan hujan dan kemarau yang saling bergantian mengudar ikatan simpul-simpul kenangan.

Bogor, 16 April 2019

Catatan; Mata Dewa adalah salah satu lagu romantis terbaik yang pernah dinyanyikan Sang Maestro Iwan Fals

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun