Bersama sayup suara senja yang perlahan kemudian menghilang, aku tenggelam pada sebuah pemikiran tentang langit yang memadam tanpa peringatan. Pekat menjadi rakyat. Hitam menjadi pejabat. Di dalam sebuah tatanan ketika malam berkuasa. Atas segala rencana, usaha maupun doa-doa yang menggamit angkasa.
Jika malam adalah pohon-pohonan, maka rimbun tajuknya adalah aura kekelaman, batang dan dahannya adalah sosok penyangga kegelapan, daun-daun yang melayang berjatuhan adalah bintang dan kunang-kunang yang beterbangan. Sedangkan bulan, ada di sini. Menyepi di antara orang-orang yang ingin sendiri.
Saat malam semakin larut dalam kehangatan mendung-mendung yang gagal menjadi tua, seantero kota membaringkan tubuhnya yang mendadak renta. Di trotoar, halte dan sempitnya gang demi gang tempatnya menginap. Tak ada tempat di perumahan mewah dan gemerlap. Cahaya berhambur di sana. Malam tak pernah sedikitpun menyukainya.
Waktu terus saja menggulirkan dirinya tanpa jeda. Melewati setiap kelelahan yang mencari suaka. Setelah sesiangan diperhamba. Tanpa tahu apakah keinginan majikannya terkabulkan. Atau masih saja berdiam dalam rahim harapan demi harapan.
Lambat laun senyap mengambil alih makna. Malam telah kehabisan kata-kata untuk bercerita. Sementara orang-orang, satu persatu menggadaikan matanya untuk mencari mimpi yang tertunda.
Jakarta, 9 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H