Di tengah keramaian kota yang sibuk memecah gendang telinga, kita hanyut dalam arus sunyi tak berlogika. Suara-suara terdengar hambar. Seperti komidi putar kehilangan malam yang menggelegar. Juga seperti pasar-pasar di mana orang-orang membisu tak ada tawar menawar.
Kita termangu di pojokan halte yang dipenuhi mural tentang hidup yang dijagal. Oleh sangkur dan belati yang diasah seadanya oleh kota yang bebal. Sembari melemparkan pandangan kesana kemari. Menelisik asal muasal sepi di kota yang kelebihan penghuni.
Seorang tua mengelus dagangannya dengan gemetar. Berharap ada orang-orang lapar singgah barang dua bentar. Terik telah meruyak ubun-ubun kepala. Sore sedikit ketupatnya akan hampa.
Seorang pengamen kurus kering menyanyikan lagu-lagu hening. Mencoba menusuk perasaan para pendengar yang kepenuhan perabot gawai di kuping. Tak sedetikpun syairnya tertangkap telinga. Tak sekepingpun logam jatuh ke dalam sakunya.
Seorang anak yang lupa telah kehilangan ibunya. Mengangsurkan tisu sepuluh ribu tiga. Sorot matanya memancarkan perasan buah maja. Pahit tak terkira.
Seorang gila memandang nanar kepada siapa saja. Mulutnya komat-kamit antara membaca mantra atau mengeja namanya yang dia sendiri lupa. Baginya dunia sama sekali tak berarti apa-apa. Kecuali sekedar untuk menyumpahinya.
Mosaik kota bukannya disusun tanpa sengaja. Pada setiap gambarnya terdiri dari kepingan-kepingan hidup beraneka rupa. Dari yang berkasta-kasta, hingga yang berpenyakit kusta.
Semua ada di rak-rak kaca dan almari kabinet tua.
Kau hendak mendatanginya? Dengan menjual surgamu di desa?
Jakarta, 2 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H