Dalam debar yang sangat kentara, kita menyusupkan mata lewat pandangan saling mencuri. Kau melempar kerling semanis mambruk, sedangkan aku terbata-bata menata hatiku agar tak jatuh ambruk.
Pada diam yang kesekian kalinya, kita sama-sama menyusun kata-kata yang belum lama kita sadap dari opera sabun, melanun pikiran kita yang disandera lamunan tak berbentuk apapun. Kau mereka kalimat semanis mungkin, sementara aku memaniskan kalimat yang tak mungkin.
Senja mengetuk dinding-dinding udara. Lilin di matamu mulai menyala. Mau tak mau aku mendekat. Aku tak mau salah alamat. Mengatakan cinta namun terbit huru-hara, atau berucap rindu tapi sembari menggoreskan sembilu.
Kau adalah alamat yang aku tuju. Di tempat tinggalku belum ada lampu. Jadi nyala lilin di matamu, cukuplah bagiku untuk melanjutkan membaca buku-buku.
Buku-buku yang dituliskan oleh musim. Bagaimana kemarau menyisihkan jalan demi kedatangan hujan. Kemudian hujan meminta kemarau mendatanginya saat genangan telah terlalu dalam.
Juga buku-buku yang diterbitkan oleh para pemburu rindu. Seperti apa cara mencandai waktu sehingga menjadi sekutu. Lalu bagaimana cara mencintai waktu agar rindu itu tak membatu.
Jangan padamkan nyala lilin di matamu. Aku membutuhkannya seperti aku membutuhkan dirimu.
Jakarta, 27 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H