Mengukur baju kata-kata, agar pas dikenakan kalimat yang ditujukan kepada kota yang belum tidur karena memilih suntuk untuk menghilangkan rasa kantuk;
Kepadamu wahai kota yang dipinang oleh banyak orang, bangunkan pelaminan untuk para kekasih yang dari jauh datang, dudukkan mereka di tempat yang tenang, menikmati tetabuhan hikmat saat senggang dan suguhan nikmat sesaat sebelum pulang.
Dan kota menjawab dengan dengkur yang mirip suara tanah gugur dari galian kubur. Baginya tidak peduli adalah bagian dari mimpi yang tak terbeli. Apabila pengantin dari rantau berduyun-duyun berkunjung, memasang muka murung, lalu mematung untuk selanjutnya mutung, itu bukan urusannya. Ia hanya menyediakan tempat pendaftaran. Bukan menampung segala macam penyesalan.
Dari tempat-tempat yang tak disangka ditinggali oleh manusia, kota tidak akan mengakuinya sebagai beranda. Namun dijadikan sebagai keranda raksasa. Mengkafani segala keinginan yang telah menjadi mayat. Untuk kemudian dibakar bersama asap pabrik yang menjulang setinggi hikayat. Tanpa sesiapapun datang melayat.
Urban-urban yang digolongkan sebagai kambing kurban. Menjadi legenda yang tak dibicarakan. Menjadi dongeng miris yang tak ingin diceritakan. Kepada anak cucu yang kerapkali bertanya dengan mata penasaran; kota ini pusat harapan? Atau kuburan besar yang tak digratiskan?
Jakarta, 25 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H