Di bawah langit hitam yang sedang menggiring sekumpulan awan menuju tempat kelahiran hujan, cuaca meremangkan bulu kuduk para pejalan. Meniupkan hawa dingin. Membatalkan segala ingin.
Hujan mungkin tiba dengan tiba-tiba. Petir mungkin hadir tak terduga. Tapi siapapun tahu. Rindu pada cuaca seperti itu adalah sama dengan berbaring di ranjang berpaku masa lalu. Ngilu!
Jika akhirnya harus tersesat di labirin hujan yang lebih rumit daripada menyusuri kenangan, tak jadi apa selama pintu keluarnya tetap ada. Jika tidak, barangkali lebih baik menyudahi lamunan yang mengada-ada. Menyapa kembali realita. Apa adanya.
Di dalam labirin hujan, kita adalah mainan. Menjadi perahu kertas, terombang-ambing tak karuan, lalu koyak dan tenggelam.
Di dalam labirin hujan, kita berteduh di bawah atap yang nyaris runtuh, simbol dari niatan kita yang rapuh. Untuk berani mengambil keputusan; tetap di tempat terhindar dari kebasahan, atau kuyup tapi sampai tujuan.
TR, 24 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H