Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Labirin Hujan

24 Maret 2019   17:54 Diperbarui: 24 Maret 2019   18:01 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bawah langit hitam yang sedang menggiring sekumpulan awan menuju tempat kelahiran hujan, cuaca meremangkan bulu kuduk para pejalan. Meniupkan hawa dingin. Membatalkan segala ingin.

Hujan mungkin tiba dengan tiba-tiba. Petir mungkin hadir tak terduga. Tapi siapapun tahu. Rindu pada cuaca seperti itu adalah sama dengan berbaring di ranjang berpaku masa lalu. Ngilu!

Jika akhirnya harus tersesat di labirin hujan yang lebih rumit daripada menyusuri kenangan, tak jadi apa selama pintu keluarnya tetap ada. Jika tidak, barangkali lebih baik menyudahi lamunan yang mengada-ada. Menyapa kembali realita. Apa adanya.

Di dalam labirin hujan, kita adalah mainan. Menjadi perahu kertas, terombang-ambing tak karuan, lalu koyak dan tenggelam.

Di dalam labirin hujan, kita berteduh di bawah atap yang nyaris runtuh, simbol dari niatan kita yang rapuh. Untuk berani mengambil keputusan; tetap di tempat terhindar dari kebasahan, atau kuyup tapi sampai tujuan.

TR, 24 Maret 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun