Cerita sebelumnya; Cinta Berselimut Kabut
Rani terheran-heran. Merasakan tubuhnya begitu ringan. Sama sekali tidak ada rasa sakit akibat kecelakaan hebat yang baru saja dialaminya. Pikirannya berkelebat dari satu kilasan peristiwa ke peristiwa lainnya.
Nikita yang begitu benci kepadanya menyuruh Ron menculik dirinya. Reno yang sangat mencintai dan dicintainya entah sekarang ada di mana. Pasti sedang kebingungan mencari-cari dia ada di mana.
Jalan hidupnya begitu bergelombang, dari orang yang tidak memiliki apa-apa hingga menjadi calon istri seorang milyader muda. Rani sedikitpun tidak pernah membayangkan jalan hidupnya akan serumit ini.
Memang tidak ada satu orangpun yang paham jalannya takdir seperti apa. Tuhan menulisnya dengan diam-diam dan tetap menyimpannya sebagai rahasia. Rahasia yang menyimpan porsi duka dan bahagia di dalamnya. Bergantian datang dan pergi. Seperti neraca yang tak pernah bisa setimbang di kanan dan kiri.
Rani masih bisa merasakan sentuhan baju pengantin di permukaan kulitnya. Saat dia mematut dirinya di depan cermin dengan mata berbinar-binar. Membayangkan duduk di pelaminan dengan lelaki yang dicintainya. Lalu menghabiskan sisa usia bersamanya.
Rani tersentak. Ada sedikit nyeri menjalar di dadanya. Lalu suara musik yang menghanyutkan terdengar pelan. Musik yang monoton. Dia tidak suka. Tapi biarlah. Toh dia hanya ingin tidur saja. Musik apapun tidak jadi apa. Paling penting dia bisa terlelap. Itu saja.
Sebuah genggaman kuat terasa begitu hangat di tangannya yang dingin. Rani mencoba tersenyum. Tapi dia merasakan bibir dan mulutnya begitu kaku. Uh, seluruh organ tubuhnya rasanya telah menjadi batu.
Kembali Rani merasakan sebuah sengatan menyakitkan menjalari dadanya. Ah, namun rasa hangat yang mengalir dari genggaman tangan itu mampu membuatnya bertahan. Rani tahu itu genggaman tangan siapa. Genggaman tangan penuh kasih dan cinta. Reno! Lelaki yang tak lama lagi menjadi suaminya.
Kali ini Rani merasakan sebuah rasa sakit yang luar biasa di kepalanya. Seolah ruh di dalam tubuhnya sedang mendesak untuk keluar. Dan Rani merasakan tetesan hujan di wajahnya. Ya, hujan yang berupa titik-titik gerimis. Membasahi mukanya dengan rasa hangat yang aneh. Membuatnya tak merasa sakit lagi.
Musik yang didengar Rani terdengar bernada tak karuan. Kadang tinggi kadang rendah. Berisik. Rani merasa terganggu sekali. Tapi genggaman tangan dan gerimis itu kembali menenangkannya.
Rani memutuskan bahwa dia berada dalam fase bahagia luar biasa! Tangan Reno yang menggenggam erat tangannya adalah kekuatan cinta yang istimewa. Gerimis yang entah darimana datangnya sungguh sangat menyenangkan. Pada setiap tetesnya Rani bisa merasakan cinta yang megah. Rani benar-benar bahagia.
Bibirnya membentuk senyuman paling manis yang pernah ada pada dirinya. Senyuman untuk Reno yang telah membuatnya bahagia dengan membuktikan cintanya tanpa harus banyak berkata-kata. Rani merasa sebentar lagi dia tertidur. Tidur dalam bahagia.
Musik di telinga Rani berubah menjadi instrumentalia satu nada yang sangat panjang. Tiiiiiiiiiiitttttttt.
Terimakasih untuk cinta dan bahagia yang kau berikan Reno. Rani kembali menyunggingkan senyum. Senyum terakhirnya di dunia.
Reno memperkuat genggaman tangannya pada tangan Rani yang sangat dingin. Airmata lelaki itu jatuh satu-satu ke wajah Rani yang matanya tertutup rapat dengan seulas senyum tipis di bibirnya. Senyum paling manis yang pernah diberikan Rani kepadanya. Senyuman tulus dan bahagia.
Reno berusaha membalas senyuman itu dengan menggerakkan bibirnya perlahan berupa bisikan mesra; tunggu aku di sana cinta.
Matanya terpaku pada mesin jantung yang garisnya mendatar dengan bunyi bip panjang tanda jantung itu telah tak beraktifitas lagi. Rani telah pergi.
-Tamat-
Bogor, 17 Maret 2019
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H