Ketika pedih memerih hati
Itu pertanda bahwa jantung sedang dialiri rasa sunyi
Merindukan keramaian yang tidak sekedar gaduh
Mendambakan kegaduhan yang tidak sekedar ramai.
Berusaha melupakan dengan bercerita banyak tentang kejamnya cinta
Yang selalu membuat hati serasa terpenjara
Bertahun tahun lamanya.
Bab XIV
Pesisir Selatan-Pagi Hari. Â Putri Anjani menatap lautan lepas di depan matanya. Â Rasanya belum terlalu lama dia berada di sini bersama pemuda di sampingnya ini. Â Terbebas dari hukuman mengerikan di Pulau Kabut. Â Pemuda ini bertarung habis-habisan dengan Panglima Kelelawar agar mereka berempat saat itu bisa terbebas. Â
Mengingat ini, Putri Anjani tertawa dalam hati. Â Arya Dahana memang bodoh sekali. Â Seharusnya dia bisa bilang saja bahwa hutang nyawa mereka telah impas dan lunas. Â Dialah yang berjuang keras agar mereka semua bisa bebas.
Putri Anjani berpikir, jika hanya dia yang datang bertamu ke Pulau Kabut, belum tentu Panglima Kelelawar akan menyambut dirinya dengan baik. Tapi bersama Arya Dahana, Â dia yakin Panglima Kelelawar akan menghargai kedatangannya. Â
Panglima itu kalah dalam pertarungan adu kepandaian dengan pemuda ini. Â Sedikit banyak, Panglima Kelelawar akan bersedia membuka diri untuk berunding. Â Itulah mengapa dia menuntut Arya Dahana menemaninya ke sini.
Sambil berpikir tadi, mata Putri Anjani menjelajahi seputaran pantai. Â Tidak ada satupun perahu yang kelihatan. Â Bagaimana caranya agar mereka bisa ke Pulau Kabut? Â Lagipula menuju pulau itu tidak bisa dengan orang sembarangan. Â Harus ada penunjuk jalan. Â Pulau itu dilindungi mantra mantra gaib yang luar biasa hebat.Â
Dilihatnya Arya Dahana hanya duduk di pasir dan diam. Â Putri Anjani menjadi kesal.
"Arya, ayo carilah perahu. Â Kita harus pergi ke Pulau Kabut sebelum siang. Â Jika tidak, maka kita akan kemalaman."
Pemuda itu menoleh dengan asal asalan.