Bagaimana caraku menarasikan kesinisan? Sementara aku hanya bisa mencela garis malam yang nampak seperti kelucuan. Di antaranya adalah bintang-bintang yang terperosok. Dan bisikan-bisikan liar angin yang seronok.
Sungguh. Ini kelucuan yang tidak sanggup membuatku tertawa. Sudut mulutku bertuba.
Mungkin sebaiknya aku terpejam saja. Menikmati khayal demi khayal yang beranjak gagal. Aku kelelahan. Terlalu lama membiarkan waktu mempermainkanku. Di ujung pendulumnya yang berpaku.
Aku memerankan diriku sendiri menjadi angka pudar pada jam dinding yang enggan berputar. Sedangkan di luar sana, semuanya berlomba menjadi jagoan. Di sirkuit-sirkuit kejadian yang dijalankan oleh zaman.
Sungguh. Ini tidak bisa diterima. Air liurku bertetesan sederas airmata. Semakin bertuba.
Aku tak mau bertanya. Terutama kepada diriku sendiri. Karena jika itu terjadi. Aku hanya akan menjawab dengan mengasah belati. Menikam stigma. Hingga terbunuh seketika. Dan aku tak bisa lagi beretorika.
Aku memang lancang. Menyusun skenario gamang. Hanya untuk mendapati diriku lintang pukang.
Di panggung-panggung yang hanya disediakan bagi para lelaki jalang.
Bogor, 8 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H