Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Menghayati Fiksi

6 Maret 2019   08:21 Diperbarui: 6 Maret 2019   08:21 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di dalam sebuah cerita fiksi, kita sering menjumpai letupan-letupan kecil yang membuat kita terkejut sendiri. Alur yang mencekam, percakapan-percakapan suram, dan juga penderitaan tokoh protagonis nyaris di keseluruhan cerita yang membuat hati ikut lebam.

Dalam hati kecil kita sangat berharap akhir dari cerita itu akan menghibur kita dengan kemenangan si tokoh. Berakhir bahagia atau setidaknya si tokoh tak lagi menderita. Sesederhana itu. Karena akhir yang menyedihkan umumnya akan membawa pembaca ke sebuah situasi yang tidak menguntungkan.

Mari kita mengekstrak situasi tidak menguntungkan itu seperti apa?

Pada umumnya orang menyukai kebenaran dan memihak pada keadilan. Sehingga apabila jalan cerita berkisah sebaliknya, mereka akan kecewa, lelah, lalu meluapkannya dalam bentuk sumpah serapah.

Setelah itu kondisi psikologis pembaca akan drop, terganggu, atau malah skeptis. Ini berbahaya! Seseorang yang begitu menghayati sebuah cerita fiksi mempunyai harapan-harapannya sendiri. janganlah tokohnya mati, janganlah dia terlalu sengsara, janganlah tidak bahagia, dan seterusnya.

Apabila kemudian ternyata harapannya tidak terpenuhi, seorang pembaca bisa-bisa berubah haluan menjadi pencerca yang tidak terima. Sasarannya terutama tentu saja si penulis.

Kenapa endingnya harus begini tragis? Dunia sudah demikian miris tapi cerita ini masih juga berakhir tragis.

Kalau tahu endingnya begini, lebih baik aku tidak membacanya sedari awal. Sialan!

Lain kali aku tidak akan membaca lagi karya si ini dan si itu. Endingnya membuatku ngilu!

Kira-kira begitulah ilustrasi cercaan yang bermacam-macam namun kesemuanya suram.

Lantas apakah semua cerita harus berakhir bahagia untuk menyenangkan pembaca?

Tidak! Ada 3 hal yang bisa disarikan dari kejadian di atas;
1. Dengan berkomentar seperti itu, bisa disimpulkan bahwa pembaca benar-benar menghayati isi cerita;
2. Cercaan itu sebetulnya hanya pura-pura. Seorang pembaca, jika sudah berhasil menghayati hingga ke dasar hati, pasti akan kembali membaca apa yang nanti akan dituliskan oleh penulis yang sama;
3. Penulis sukses menggiring pembacanya ke dalam situasi yang dikehendaki jalan cerita. Tulisannya BERHASIL!

Bandingkan dengan keadaan di mana pembaca hanya datar atau hambar setelah membaca sebuah karya fiksi.

Membuka halaman demi halaman, menutup halaman terakhir, dan meletakkann bukunya di rak atau almari, setelah itu melanjutkan kegiatan lainnya tanpa terpengaruh apa-apa, maka sesungguhnya karya fiksi tersebut tidak dihayati sama sekali dan gagal mempengaruhi emosi/psikologis pembaca.

Penghayatan terhadap sebuah karya fiksi akan banyak dipengaruhi oleh beberapa hal;
1. Jalan cerita
2. Cara bercerita
3. Ending cerita
4. Plot-plot yang melintir, dan
5. Situasi psikologis pembaca

Jalan cerita yang meliuk-liuk akan lebih membius mata pembaca untuk terus membaca. Meliuk-liuk di sini bukan berarti panjang atau berliku-liku. Paling utama adalah tidak monoton. Berganti-ganti plot dan tidak sering menampilkan flash back. Seperlunya saja.

Cara bercerita yang lengkap akan membuat pembaca tidak segera meletakkan bukunya dan akan terus membaca. Sebuah karya yang terlalu naratif dan tidak dikombinasi dengan percakapan, akan terasa melelahkan. Oleh karena itu percakapan berperan sangat penting dalam mempengaruhi pembaca untuk tidak berhenti membaca.

Plot-plot yang melintir akan mengejutkan pembaca dengan hentakan-hentakan adrenalin. Ini menyenangkan dan tidak membosankan!

Situasi psikologis pembaca juga memegang peran penting dalam penghayatan sebuah karya fiksi. Seorang pembaca yang sedang patah hati akan sangat menghayati sebuah kisah cinta yang romantis dan berakhir bahagia. Sebaliknya, seorang pembaca yang sedang dalam kondisi bahagia akan bisa menghayati alur cerita apa saja. Apakah itu sedih, romantis atau bahagia.

Akhirnya
Sebuah tulisan bisa dihayati dengan baik jika bisa membawa pembacanya terjebak dalam alur cerita. setebal apapun bukunya, jika pembaca sudah trance dalam penghayatan, maka buku itu akan selesai dalam waktu singkat dibaca.

Beberapa faktor yang telah disebutkan di atas dan ikut mempengaruhi proses penghayatan, tidak terbatas pada itu-itu saja. Masih banyak faktor lain lagi yang bisa menjadi elemen penting namun belum disebutkan.

Anda boleh ikut berkontribusi memikirkannya. Oke?

Jakarta, 6 Maret 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun