Aku beritahu kamu sesuatu. Persis ketika petang mulai menyalakan lampu. Wajah kota yang dihuni orang-orang beringas. Memperlihatkan seringainya yang buas. Di tangan mereka teracung buku-buku tebal, yang banyak bercerita tentang bagaimana cara terbaik menjadi bebal.
Di mata mereka tersorot tatapan kaku. Menggambarkan betapa kerasnya batu. Tergeletak di hati mereka yang cepat menajam setelah seringkali dirajam matahari. Berkali-kali. Tiada henti.
Kota ini dibangun dari tulang belulang para petualang. Mereka bermatian namun tak dikenang. Dikubur di sudut-sudut kumuh. Supaya para penonton tidak menuduh kota sebagai pembunuh.
Aku juga mau kamu tahu. Bila kamu datang ke kota ini dan bertamu. Bawalah nyala api sendiri. Aku takut kamu kedinginan. Kota ini sama sekali tak menyediakan perapian. Mereka hanya punya api kremasi. Khusus untuk membakar habis kekuatan hati.
Jangan lupa untuk mengunjungi perpustakaan kota. Di sana tersedia banyak pustaka bagaimana cara menjadi durhaka. Kepada asa, cita-cita dan pesan-pesan ibunda.
Kamu akan diajari juga bagaimana sebaik-baiknya menjadi pemangsa. Mengunyah bisa. Menelannya tanpa terluka. Lalu meludahkannya sebagai wabah budaya. Yang dengan cepat akan merubahmu setara dengan hyena.
Berkeliaran di menara-menara kaca. Sambil meneteskan air liur di sudut mulut yang terbuka.
Bukan karena perut merintihkan kelaparan. Tapi lebih pada benak yang diriuhi ketamakan.
Jakarta, 27 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H