Dalam senyap yang membawa pikiran melenyap, kita menguap menjadi kemarau di puncak musim hujan.
Di halaman, kita memberi salam terbaik bagi orang-orang yang lewat bertabik. Pada setiap sapaan yang berasal dari hati yang tidak pelik, kita sesungguhnya mengumpulkan remah-remah surga terbaik.
Di dalam rumah, kita terkurung masa silam yang nyaris setiap saat mencibir. Melempari muka kita dengan sihir-sihir nyinyir.
Kita begitu lihai berpura-pura. Kau dengan tatapan yang lebih tua daripada senja. Dan aku yang memberi isyarat bahwa semua baik-baik saja.
Selanjutnya kita terjebak pada tata cara menunggu tamu yang mulia. Dengan duduk manis di beranda. Menyiapkan anggur beberapa cawan. Berharap kedatangan kejutan yang menyenangkan.
Saat semua sudah direncanakan. Dan ternyata tamu yang datang adalah kesenyapan. Kita memutuskan untuk tetap di beranda. Menyesap cawan demi cawan anggur yang ada. Menghabiskannya.
Sampai tetes terakhir ketika kita kembali menyusun rencana demi rencana. Untuk senyap demi senyap berikutnya.
Lipat Kain, 11 Februari 2019