Untunglah ada kamu, rintik gerimis yang tak habis-habis. Rima dan magisnya menyurutkan keinginan untuk mengiris sajak-sajak liris. Ke dalam upacara persembahan tak biasa. Memenggal kata-kata di altar hangkara.
Syukurlah masih ada kamu. Sepetik bintang yang lolos dari perangkap langit yang semu. Setitik cahaya yang sampai di bumi, yang tak lebih dari satu detik nyala korek api, mengirimkan pesan paling rahasia namun tiada tara maknanya;
bila jiwamu sedang dipasung rapat oleh kelam dan dipagut erat oleh hitam, carilah percikan cahaya yang ada, bahkan meski itu adalah sisa bara dari sampah yang menyala.
Aku mesti berterimakasih kepada keheningan yang tiba-tiba menyapu segala kegaduhan. Saat hiruk-pikuk yang terkutuk didiamkan seketika oleh pikiran yang terantuk hal-hal buruk. Pukulan masa silam yang tiba-tiba datang secepat shinkansen sampai ke tujuan. Walau sesungguhnya ini belum waktunya pulang.
Aku masih di sebuah tempat temaram. Menunggu rintik gerimis kembali mengulang rimanya yang berdetak lambat. Juga sepetik bintang yang tadi ditenggelamkan gelombang awan pekat. Aku menunggu lagi sebuah pesan paling rahasia;
bila jiwamu dirundung murung yang tak kepalang mendungnya, carilah hujan terbesar yang pernah ada, bahkan meski kau akan dilanda air bah karenanya.
Palembang, 30 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H