Aku melewati ladang kapas yang entah bagaimana telah dipanen angin. Bertebaran ke delapan penjuru. Mencari-cari kesesuaian suhu, perekat yang bergaharu, agar bisa dipintal menjadi rindu.
Sementara aku, sedang berpikir keras bagaimana caranya menenun sembilu. Supaya ia tak lagi melukaimu. Luka karena sayatan rindu sukar disembuhkan. Kecuali jika kenangan bisa dengan mudah memaafkan.
Di ketinggian dengan udara setipis irisan-irisan tangis, aku menghembuskan nafas secara ritmis. Teringat kepadamu yang mungkin sedang menyatukan kepingan murung. Menjadi satu dalam irama detak jantung.
Saat kembali membaui permukaan bumi, aku menata caraku menyapa dengan hati-hati. Ini wilayah sungai Musi. Sungai yang mengilhami kehadiran kerajaan besar. Ketika dulu sayap Sriwijaya menyambar-nyambar.
Lagi, aku teringat kepadamu. aku yakin kali ini kau merangkai roncean kembang sepatu. Sebagai cara terbaik bagimu memberi simbol pada rindu. Entah kepadaku. Atau terhadap Sungai Musi yang permukaannya tiba-tiba membiru. Sebagai cermin sempurna bagi langit yang memutuskan bisu.
Palembang, 28 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H