Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Apakah "Merdeka" untuk "Bersengketa" dengan Teori Sastra?

27 Januari 2019   21:15 Diperbarui: 27 Januari 2019   21:19 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanyaan ini sebetulnya nyaris sepenuhnya saya tujukan kepada diri sendiri.

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kata bersengketa adalah berkelahi, menentang, atau mengambil posisi berlawanan. Tidak! Sama sekali bukan.

Saya akan menjelaskan lebih lanjut kenapa menggunakan judul yang sedikit provokatif tersebut di atas.

Saya penyuka sastra yang tidak masuk ke dunia tersebut dengan seutuhnya. Saya nampaknya melipir di seputaran pagar yang mengelilingi dunia itu, tanpa benar-benar masuk ke dalam dan melihat seperti apa bangunan megahnya.

Latar belakang pendidikan saya adalah eksakta. Sangat jauh dari dunia sastra. Saya adalah seorang rimbawan yang diajari bagaimana cara menggeluti hutan dan menggulati belantara. Saya sama sekali tidak pernah diajari apa itu diksi, majas, atau rima. Bagaimana itu alur, genre dan ruh-ruh karya sastra.

Saya hanya mendapatkannya sedikit sewaktu zaman SMA yang tentunya hanya percikan kecil air hujan apabila dibandingkan luasnya lautan.

Saya gemar menulis tapi tidak mengetahui persis bagaimana tata cara menulis. Saya mempunyai passion tinggi mengkreasi karya sastra seperti puisi, cerpen dan novel, namun sama sekali tidak pernah mempelajari bagaimana sebenarnya kaidah menulis karya-karya tersebut.

Saya menulis ya menulis saja. Saya menuangkan isi benak saya ke dalam tulisan tanpa sebuah langkah filtering yang teoritikal. Ini seperti membuat teh tubruk tanpa disaring terlebih dahulu. Sehingga mungkin rasa tehnya begitu pekat sampai-sampai tenggorokan tercekat.

Tapi saya sangat menikmatinya.

Merdeka untuk Bersengketa
Jadi sebenarnya saya menggolongkan diri saya sebagai outsider yang keranjingan menulis karya sastra saja. Bagi saya, kepuasan setelah menulis karya sastra lebih memuaskan dibanding ketika saya keluar dari hutan setelah berhari-hari berkubang di dalamnya.

Oleh sebab itu, saya merasa bahwa saya begitu "merdeka" dalam menulis sebuah karya sastra. Sampai-sampai saya tidak pernah memperdulikan atau menyisihkan waktu sedikit saja membaca teori-teori mereka puisi, menulis cerpen, maupun cara-cara menceburkan diri ke dalam alur cerita novel yang luar biasa kerumitannya.

Tepatnya, saya begitu "merdeka" dalam berkarya. Kemerdekaan yang saya proklamirkan sendiri di hati, saya hayati, dan saya ikuti sebagai pedoman agar saya tidak menemui barrier atau tembok tinggi yang akan membuat saya ragu-ragu, tidak yakin, dan akhirnya tidak jadi menulis.

Saya sama sekali tidak mau terjadi hal seperti itu.

Tapi tentu saja "kemerdekaan" itu harus dibayar dengan kemungkinan "bersengketa" dengan teori-teori sastra yang ada.

Mungkin saja puisi-puisi saya ternyata jauh panggang dari api teori penulisan puisi. Bisa saja cerpen-cerpen saya mengingkari apa yang ada dalam diktat kepenulisan cerita pendek. Barangkali novel saya tidak tahunya melenceng jauh dari kaidah penulisan novel.

Saya menyadari semua hal itu.

Akhirnya
Namun sekali lagi, karena saya telah memproklamirkan "kemerdekaan" saya dalam menulis, jadi saya tetap akan menjalani semuanya dengan bahagia. Walaupun kemungkinan "persengketaan" tadi ternyata menggelegar, saya tidak akan gemetar. Meskipun peluang persengketaan itu ternyata besar, saya tidak sedikitpun gentar.

Sebab bagi saya, menulis karya sastra adalah spektrum kebahagiaan yang tidak boleh sama sekali dikuliti oleh pertentangan dengan teori.

Di lain sisi, saya menghormati semua teori kesusastraan yang saat ini bertahta. Kerajaan sastra tetap berdiri dengan segala bentuk eksistensinya.

Sedangkan saya, biarlah ada di pinggirannya dan menikmati semua kebahagiaannya. Dengan cara saya.

Bogor, 27 Januari 2019
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun