Ketika hujan deras datang secara masif. Aku ingin menuliskan sebuah sajak manipulatif.
Menipumu agar percaya bahwa rasa manis itu tumbuh, bukannya rapuh. Membohongimu supaya kau paham bahwa duka itu bagian dari cerita, bukannya karena kehadiran luka.
Pada suatu senja yang tiba dengan mengendarai keletihan. Aku mau merangkai kata-kata yang ikut kelelahan.
Meyakinkanmu agar tahu bahwa asal muasal rindu itu dari kebuntuan. Pada lorong-lorong mampat yang menghalangi perjumpaan.
Pada suatu kesempatan hujan berhenti. Aku hendak menapis puisi-puisi yang menyeret rasa sunyi.
Aku akan menggaduhinya dengan tawa terbahak-bahak. Karena sunyi itu ibarat dahak. Jika dibiarkan bisa dengan mudah mencekik tenggorokan. Jika dikeluarkan akan gampang menimbulkan kericuhan.
Ketika hujan ternyata enggan berhenti. Sepertinya kita mesti segera berlari. Tanah-tanah yang licin, cuaca yang berlilin, akan sangat tepat bagi kita untuk kembali menegakkan ingin.
Sebab hawa dingin jauh lebih cepat bersahabat dibanding kemarau yang berangin.
Medan, 24 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H