Sajak-sajak liris memiliki rangkaian genetis yang sempurna untuk merubah kebisingan tangis menjadi peristiwa tragis yang berakhir manis.
Pada setiap rimanya; mengandung repetisi. Mengundang kekuatan ilusi. Mengendang musik-musik yang mengiringi kebangkitan imajinasi.
Pengulangan untuk menegaskan arti. Bila setelah berucap pergi, maka rimanya yang tegas akan menuliskan tak akan kembali.
Begitu pula ketika menegaskan arti tangisan seperti ini; aku berniat menangisi hati yang dikoyak-koyak sepi. Tapi aku ingat hatiku telah lama disepuh besi. Aku tak hendak menjadi seorang perempuan yang tatapannya tergradasi sunyi.
Pada sajak-sajak liris yang magis, ditiupkan ruh yang diambil dari helaan nafas para pertapa yang telah menyelesaikan pertapaannya. Bukan dari ruh para pengelana yang tak pernah sampai pada tujuannya.
Sajak-sajak liris ditujukan untuk mengiris-iris keriuhan di benak para peratap. Membagi-baginya dalam potongan kecil yang mudah dilahap. Ketika mereka mencucurkan airmata demi bukan apa-apa. Untuk bukan siapa-siapa. Atas nama perkara-perkara tak ada artinya.
Sajak-sajak liris yang magis lebih tepat ditujukan bagi para penyendiri yang menganggap tangis adalah cara bunuh diri paling herois.
Medan, 24 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H