Mengkonstruksi ulang waktu, bagi kenangan yang retak berpecahan, membawaku pada temuan kelipatan rindu, yang pecah berhamburan.
Pada suatu siang yang ruangannya sesempit selokan, karena dipenuhi penumpang dari dunia kegelapan, berupa awan hitam, aku mencecarkan beberapa pertanyaan, sekaligus juga mengudar beberapa jawaban;
sejauh apa seekor elang terbang dan sanggup menemukan jalan pulang?
sementara langit menanamkan akar-akar tajam berupa anak-anak hujan yang merambat berulang-ulang. Membuat jejak terbang sebelumnya berubah temaram.
apakah sejauh ribuan kali rentang sayapnya? Atau sejauh dia bisa menemukan senja?
jika ribuan kali bagaimana cara menghitungnya. Kepak sayap elang lebih cepat dari kedipan mata.
jika sampai menemukan senja, tentu pengembaraannya lebih lagi tak kasat mata. Senja adalah sebuah tempat yang hanya sanggup dicapai oleh hati yang mencinta. Tidakpun elang. Tidak juga pulang. Hanya matahari yang bisa. Karena pada senjalah terdapat hamparan peraduannya.
apakah elang adalah manifestasi dari pulang? Atau sekedar simbol perjalanan?
elang akan selalu terbang balik ke sarang. Di sanalah kehangatan cinta selalu menunggunya pulang.
elang juga simbol epik sebuah perjalanan. Tak ada angin yang terlalu kencang untuk ditentang. Tak ada badai yang terlalu berang untuk dipantang.
Jakarta, 14 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H