Sebagaimana ketika Rumi menyampaikan rintihannya sebagai tawanan dunia, aku lalu meraba-raba di mana letak rantai yang membelenggu mulut dan jiwa.
Ketemu! Ternyata aku dibelenggu waktu. Waktu yang mengajariku bagaimana cara menjadi pisau. Untuk mengiris risau. Dalam kesendirian. Menyayat kesunyian. Menjadi beberapa babak kegaduhan.
Tapi dia tak mengajariku bagaimana meredam keramaian. Di dalam pusarannya, kepalaku disandera. Persis seperti Rumi ketika menjadi tawanan dunia.
Juga saat Gibran menutup matanya untuk mengetahui apa yang tak terlihat. Aku coba sepakat. Aku ikut menutup mata. Juga telinga. Apa yang tak kulihat adalah cahaya. Apa yang tak kudengar adalah langgam kajian orang-orang membaca.
Jadi untuk apa aku menutup kedua indera? Di sinilah letak kegagapanku ternyata. Aku belum sampai di sana.
Begitu pula waktu Emha mengakui anaknya beribu-ribu. Sebagian besarnya tak pernah bertemu. Aku adalah salah satunya. Salah satu yang mengaku durjana.
Kedurjanaan yang terkadang menyihirku menjadi jagal. Atas pikiranku sendiri yang tersengal-sengal. Lama terjebak dalam kekakuan drama. Pun juga menghilang dari keluwesan segmen pada setiap sandiwaranya.
Mereka, mencoba hidup di kepalaku. Tapi aku, memilih membunuhnya satu-satu.
Karena pengertianku, lebih gagu dari batu yang bisu.
Bogor, 13 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H