Realita adalah persepsi yang dihidupkan. Mimpi adalah realita yang dipersepsikan.
Realitamu adalah seorang yang menyukai drama. Kau sanggup menontonnya berjam-jam, disela oleh tangisan. Mimpimu adalah drama yang punya akhiran. Mengarahkan tatapanmu pada jendela, di mana bahagia sempat kau campakkan. Lalu digerus hujan.
Realitaku adalah penulis skenario yang gamang. Berlagak malang. Namun sesungguhnya aku lelaki yang jalang. Mimpi aku buat sebagai mainan. Aku urai sebagai teka-teki. Kemudian aku rakit kembali.
Apabila persepsimu tentang realita dan mimpi, dibatasi oleh garis putus-putus yang disebut sunyi. Maka kau hidup di keduanya, tanpa sanggup melarikan diri. Kau adalah rasa sunyi itu sendiri. Bunuh diri sebelum menusuk diri. Mati sebelum mati.
Kau mesti bangkit berdiri. Menekan tombol pengulangan kembali. Tidak lagi hidup dalam persepsi. Semua harus pasti.
Manakala persepsiku tentang realita dan mimpi adalah panggung pertunjukan. Maka aku diberi peran besar oleh sutradara. Aku adalah pemeran jahatnya. Tak bisa mati. Karena aku hidup dalam mimpi.
Aku tidak mesti bangkit berdiri. Aku hanya tinggal membunuh persepsi. Aku bisa menyudahinya. Kapan saja. Dalam realita.
Bogor, 5 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H