Jejak hujan menghilang dari pipimu yang seringkali jadi tempat luncuran. Â Mungkin karena kau sekarang mentranformasi dirimu menjadi awan. Induk semang hujan.
Kau tak patuh lagi terhadap perintah untuk meratap-ratap terhadap derita, nestapa, dan duka. Kau sering membaca buku-buku tentang Tuhan yang tak mau hambanya menangis, hanya karena kepalanya ditampar gerimis.
Beberapa kesakitan memang sempat singgah. Kau tak lagi menganggap itu sebagai kegelisahan yang harus diperam hingga matang menjadi kekacauan. Kau berdiri tegak dengan mata mengancam; pergilah atau aku akan membuat kesakitanmu kalah!
Sebenarnya aku ingin menguji. Dengan menyusupkan beberapa macam elegi. Namun tentu aku tidak sekejam para algojo yang menakuti dengan jeratan tali. Aku hanya akan mendatangimu dalam mimpi. Menyuruhmu berkelahi melawan rindu. Dengan harapan kau tidak menyerah terhadap pilu.
Aku bertabik kepadamu. Dengan caraku. Â
Menuliskan sajak-sajak yang membadaikan rindu. Agar kau tahu bagaimana sebuah sajak bisa membuatmu semakin tegar membatu.
Jakarta, 31 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H