Aku pernah menulis puisi yang justru menjebak diriku dalam alunan melodi yang merebahkan delusi. Di pangkuan bulan mati.
Aku langsung saja berniat bunuh diri. Tapi sebuah ingatan mencegahku. Aku masih harus berurusan dengan sekian banyak pintu. Di rumah yang selama ini menungguku. Untuk pulang dan bukan bertamu.
Di suatu ketika. Di suatu senja. Aku menjumpai keratan-keratan tidak nikmat dari kenangan yang menghujat. Aku tidak boleh menghindarinya karena aku sedang mencari surga yang tepat.
Jadi aku selanjutnya saling berbincang dengan kekerasan kata-kata dan siap untuk bersengketa. Aku tidak takut kabut. Untuk apa mesti cemas terhadap luput.
Bukankah sebuah keinginan yang dipendam seperti mayat hanya akan membawaku kepada luka yang tak mungkin lagi dibebat? Begitulah hikayat. Bukan sebuah adab yang mesti berakhir pada dongeng tentang kiamat.
Pada hujan yang sekarang lalu lalang seperti belalang yang beterbangan di rimbunan ilalang, aku nyaris saja menghanyutkan sisa-sisa hati yang kering kerontang. Tidak aku lakukan. Karena jelas itu tidak adil bukan?
Hujan adalah pelaminan yang menawan bagi rindu yang hendak meminang pertemuan. Di dalam derasnya yang membuat orang-orang berteduh, ada tubuh perpisahan yang runtuh.
Bagaimanapun tak ada perpisahan yang dicari jika sebuah pertemuan memang telah dipahat kuat dalam hati. Kecuali jika perpisahan dan pertemuan itu tak lebih dari sekedar ilusi. Dari jiwa-jiwa yang terlanjur mati.
Bogor, 12 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H