mataku terbentur pada kalimat-kalimat yang dilahirkan kepedihan. Sebuah puisi yang mengerang lemah pada langit gelap yang tumpah. Sebuah puisi yang patah di tengah-tengah. Karena penulisnya selalu mengenang rumah.
aku menduga hatinya disayat sendiri. Dinihari tadi. Menggunakan ketajaman skenario drama. Di kepalanya yang adalah panggung opera.
hatinya ingin pulang. Tapi rumah yang hendak ditujunya masih berupa tiang-tiang. Dia menghitung berapa langkah kaki. Tak jauh lagi.
dia juga menghitung seberapa banyak sepi. Yang harus dilalui. Tengkuknya meremang. Sepi adalah kata yang selalu membuat gamang.
tapi di hatinya telah lama tumbuh melati. Melati yang setiap harinya dia siram dengan air dan api. Air untuk menumbuhkan. Api untuk menghanguskan. Begitu bergantian. Dia tak punya pilihan.
di panggung pagi yang mempersembahkan banyak kerinduan. Dia tersadarkan. Lebih baik merangkai embun menjadi mutiara. Daripada menguntainya dalam duka lara.
Bogor, 5 Desember 2018