Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Hati, Sepi dan Melati di Panggung Pagi

5 Desember 2018   07:07 Diperbarui: 5 Desember 2018   16:08 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

mataku terbentur pada kalimat-kalimat yang dilahirkan kepedihan. Sebuah puisi yang mengerang lemah pada langit gelap yang tumpah. Sebuah puisi yang patah di tengah-tengah. Karena penulisnya selalu mengenang rumah.

aku menduga hatinya disayat sendiri. Dinihari tadi. Menggunakan ketajaman skenario drama. Di kepalanya yang adalah panggung opera.

hatinya ingin pulang. Tapi rumah yang hendak ditujunya masih berupa tiang-tiang. Dia menghitung berapa langkah kaki. Tak jauh lagi.

dia juga menghitung seberapa banyak sepi. Yang harus dilalui. Tengkuknya meremang. Sepi adalah kata yang selalu membuat gamang.

tapi di hatinya telah lama tumbuh melati. Melati yang setiap harinya dia siram dengan air dan api. Air untuk menumbuhkan. Api untuk menghanguskan. Begitu bergantian. Dia tak punya pilihan.

di panggung pagi yang mempersembahkan banyak kerinduan. Dia tersadarkan. Lebih baik merangkai embun menjadi mutiara. Daripada menguntainya dalam duka lara.

Bogor, 5 Desember 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun