Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air dan Api, Lahirnya Air dan Api

5 Desember 2018   06:02 Diperbarui: 5 Desember 2018   09:17 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Bab I

Alam adalah pemikir yang hebat
Alam adalah pecinta yang kuat
Alam adalah penyihir yang sakti
Alam adalah pemarah yang baik hati
Jangan buat dia berpikir tentang semuanya salah manusia
Jangan bercinta dengannya jika kau lukai dia
Jangan mengubah apapun tentang keseimbangannya
Jangan buat dia murka karena murkanya adalah bencana

 

Bab II

Padepokan Sanggabuana. Sebuah padepokan yang asri.  Megah dan gagah.  Terletak di puncak Gunung Sanggabuana.  Termasuk wilayah Kerajaan Galuh Pakuan.  Kerajaan di tanah pasundan yang memiliki sejarah panjang sebagai kerajaan dengan struktur yang kuat secara turun temurun.

Pagi itu sangat cerah.  Cahaya pagi menerobos di sela sela pepohonan.  Mencoba mencapai tanah dengan susah payah.  Burung burung membuka perjamuan dengan beraneka ragam suara.  Tupai muda yang tersesat, mencari jalan pulang dengan tergesa gesa.  Seekor kumbang hinggap di bunga kemuning.  Mencoba merayu si bunga agar bisa mendapat  sedikit rasa manis di hidupnya yang selalu berdengung.  

Suasana benar benar terasa riang. Terutama saat diramaikan oleh langkah--langkah mungil bocah perempuan kecil yang sedang mengejar kupu kupu di halaman padepokan.  Usianya baru sekitar lima tahun tapi langkah kakinya sangat gesit dan lincah.  Wajahnya bulat cantik seperti peranakan bulan purnama.  Rambutnya yang panjang dikucir ekor kuda melambai lambai menantang angin agar membuatnya  terurai.  Kupu kupu yang dikejarnya tidak terlihat ketakutan. Bahkan lebih banyak menggoda dengan terbang rendah mengitari kepala si gadis mungil. 

"Dewi Mulia Ratri, saatnya berlatih sayang," seorang laki laki muda muncul dari balik pohon dan tersenyum manis.

"Baiklah Ayah.  Tapi aku tidak mau lagi berlatih dengan anak manja dari istana itu," sahut Dewi Mulia dengan mulut cemberut.  Laki laki itu tersenyum sabar.  Mengangkat Dewi Mulia dalam pelukannya dan berkata lembut,"Dewi Mulia Ratri, jawab pertanyaan ayah hari ini."

"Siapakah ayahmu nak?"

"Pendekar Sanggabuana Ayah."

"Padepokan Sanggabuana di wilayah kerajaan mana cantik?"

"Galuh Pakuan Ayah."

"Siapa nama anak manja yang kau sebut tadi?"

"Pangeran Bunga Ayah."

"Dan siapakah Pangeran Bunga itu geulis?"

"Adik tiri dari putri mahkota Ayah."

"Artinya apa bageur?"

"Artinya dia layak diiisengin Ayah...hihihi,"  Dewi Mulia terkikik geli membayangkan dia akan menemukan sebuah ide cemerlang untuk mengusili pangeran kecil itu.

Pendekar Sanggabuana terbelalak mendengar ucapan putrinya, namun akhirnya tertawa terbahak bahak sambil mencium pipinya dan menurunkannya kembali," Baiklah.  Sekarang pergilah ke ruang latihan.  Hari ini kita mendapatkan tamu yang sangat istimewa dari Jawi Wetan. Seorang pendekar yang sakti tapi aneh.  Mudah-mudahan kamu berjodoh mendapatkan sedikit petunjuk darinya."

Dewi Mulia berkacak pinggang di depan ayahnya,"Siapa nama tamu itu Ayah?"

Sambil tersenyum sabar, Pendekar Sanggabuana menjawab."Orang tidak banyak yang tahu nama aslinya.  Tapi lebih banyak orang mengenalnya sebagai Pendekar Pena Menawan.  Salah satu pendekar hebat pembela kebenaran yang unik, nyentrik dan menarik."

Dewi Mulia Ratri segera berlari menuju ruang latihan tanpa ba bi bu lagi.  Gadis kecil itu selalu tertarik terhadap hal hal baru.  Terutama yang mempunyai sangkut paut dengan sihir dan ilmu kanuragan.

Langkahnya terhenti tiba tiba karena dilihatnya seorang pemuda kecil sedang berjalan pelan diiringi oleh seorang pemuda tanggung bertubuh tegap menuju ruang latihan.  Agak jauh di belakang berjalan dua laki laki tinggi besar berwajah sangar dengan sikap waspada.  "Hmmm, pangeran manja itu kemana mana selalu diikuti dayang dayang jeleknya." Pikiran Dewi Mulia Ratri berputar seperti gasing bermesin.  Sambil tersenyum simpul dia mengendap endap di belakang mereka.  Diambilnya sebatang ranting kecil, dipejamkannya mata sambil komat kamit dan seekor ular kecil aneh dengan kepala yang sangat besar sekarang ada di tangannya.  Menggeliat geliat, menjulurkan lidah yang anehnya tidak bercabang.

Mengerahkan sedikit tenaga.  Dilemparkannya ular itu di depan pemuda kecil itu.  Pangeran kecil berwajah bersih dan tampan itu terlompat kaget saat tiba tiba di depannya muncul seekor ular aneh.  Wajahnya memucat, bibirnya bergetar.  Tubuhnya terdiam terpaku.  Mulutnya tergagap gagap,

"Astanaaaaaaa.....Sandakaaaaa...Sandikaaaa... ttttoooloongg....!!"

 Pemuda tanggung berbadan tegap yang dipanggil Astana melompat ke depan Pangeran Bunga.  Tubuhnya yang sudah bersiaga, menegang melihat pemandangan ganjil di depannya.  Wujud ular aneh itu semakin lama semakin membesar.  Sebelumnya hanya seukuran ibu jari, kini menjadi sebesar paha orang dewasa.  Dua raksasa pengawal Pangeran Bunga juga telah berlarian ke depan Pangeran Bunga.  Dua raksasa kembar pengawal istana yang berilmu tinggi itu kini juga terperangah kaget.

Akan tetapi dengan sigap Sandaka dan Sandika mencabut pedang besar dari pinggang masing-masing dan siap menyerbu sang ular yang sekarang menegakkan tubuhnya yang semakin membesar hingga seukuran pohon pepaya.  Dengan ngeri, Pangeran Bunga, Astana, Sandaka dan Sandika, melihat ular itu berubah menjadi naga! Api menyembur-nyembur dari kedua lubang hidungnya yang besar.  Matanya merah menyala.  Kedua taringnya meneteskan lendir berbau busuk dengan warna merah semerah darah.

Dewi Mulia Ratri yang melihat dari kejauhan melongo saking tak percaya dengan hasil perbuatannya.  Selama ini dia belajar ilmu sihir dari paman kakeknya di pesisir Cilamaya, Ki Rangga.  Dia bisa merubah tali menjadi cacing.  Potongan kapas menjadi burung kecil.  Bahkan selembar kain menjadi permadani.  

Tapi dia tak menyangka sama sekali bahwa ilmu sihirnya sudah setinggi ini!  Merubah ranting kering menjadi naga! Dada Dewi Mulia Ratri membusung bangga, nafasnya kembang kempis dengan pongah.  Dia menggerakkan kedua tangannya untuk merubah naga itu ke wujud semula. Karena dilihatnya kehebohan ini telah menjalar ke seantero padepokan.  Banyak orang berkumpul menyaksikan kejadian langka ini.  Dia takut ayahnya akan marah besar melihat kelakuannya. 

Alangkah kagetnya Dewi Mulia Ratri ketika naga raksasa itu tidak terpengaruh dengan lambaian tangan sihirnya.  Bahkan sang naga kini beralih menatap ke arahnya dengan garang dan penuh amarah.  Dewi Mulia Ratri menjerit ngeri ketika naga itu tiba tiba menyemburkan api dari mulutnya dan menyerangnya dengan ganas.  Dewi Mulia Ratri menggulingkan tubuhnya menghindari api yang panas membakar itu.  Kemudian menegakkan tubuh, melepas ikatan rambutnya yang berbentuk burung rajawali.  Mengerahkan seluruh kekuatan pikiran dan sihirnya.  "Berubahlah menjadi rajawali raksasa....,  makan ular jelek itu!"  begitu kekuatan sihirnya memerintah.  

Dan berubahlah ikat rambut itu menjadi.....burung pipit pemakan padi, yang langsung bercicit terbang menjauh karena ketakutan. 

Naga itu bergerak mendekati Dewi Mulia Ratri.  Dengusan amarahnya terlihat semakin menghebat.  Asap yang keluar dari hidungnya semakin tebal dengan warna putih kemerahan.  Dewi Mulia Ratri yang biasanya tak kenal takut, kini mencelos penuh kengerian.  Memandang pasrah karena dia tahu tak ada gunanya melawan sihir yang di luar jangkauan kemampuannya.

"Bluuuubbss....Plassss!"

Naga di depannya tiba tiba menghilang secara ajaib.  Jatuh ke lantai berupa ranting kering kecil seperti bentuk semula.

"Waaahh....Pendekar Sanggabuana...kisanak punya keturunan yang luar biasa.  Ijinkan aku memberinya sedikit goresan dari penaku yang tua..."

Muncul di hadapan Dewi Mulia Ratri.  Pendekar Sanggabuana bersama seorang setengah baya yang masih terlihat gagah meskipun rambut di kepalanya putih dan panjang awut awutan.

"Dewi, ayo beri salam pada sahabat ayah yang luar biasa ini.  Apalagi dia telah berkenan memberimu setetes dari selautan ilmu yang dimilikinya."

Dewi Mulia Ratri yang kini bernafas lega karena lepas dari kengerian, melangkah maju dan mencium tangan pria setengah baya itu.  Dia bisa menduga bahwa pria inilah yang menciptakan naga dari ranting tadi.

"Salam paman.  Itu tadi luar biasa!  Bolehkah paman mengajarkan ilmu yang dahsyat tadi kepadaku?  Dan bolehkah saya tahu nama paman yang baik?"

"He he he...kamu boleh memanggilku Paman Biantara.  Itu adalah ilmu biasa yang disebut Alihing Sukma nak.  Caranya sangat mudah.  Kita hanya memindahkan sebuah nyawa ke dalam sebuah wujud sesuai dengan yang kita inginkan.  Aku lihat, kamu sudah bisa melakukannya.  Hanya saja perlu keteguhan hati dan kebersihan pikiran untuk membuatnya menjadi sesuatu yang lebih besar, lebih tinggi, lebih dahsyat...perlu banyak samadi dan tirakat nduk...kuncinya adalah kejernihan hati"

Dewi Mulia Ratri mengangguk takzim mendengar itu.  Kemudian dia mengikuti ayah dan Ki Biantara masuk ke ruang latihan diikuti dengan yang lainnya.  Dewi Mulia masih sempat melirik Pangeran Bunga yang terlihat masih syok.  Dia tidak tahu bahwa mata pangeran kecil itu berkilat penuh dendam ketika melirik ke arahnya.

Dan semenjak saat itu,  secara rutin Ki Biantara memberikan ilmunya kepada Dewi Mulia Ratri saat dirinya mampir ke padepokan Sanggabuana setiap enam purnama sekali selama satu purnama penuh.

**

Bersambung Bab III

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun